PUASA ALA MULTIKULTURALISME
Oleh : Zayad Abd. Rahman*
Sejak Islam pertama kali dipancangkan dalam tradisi Arab tribal
(kesukuan) senyatanya semua ornamen keislaman berhadapan dengan budaya dan cara
pandang yang berbeda. Berjibun budaya suku menunggu sentuhan kearifan.
Perbedaan yang acap menjadi bara konflik telah genap tak bersuara di hadapan
Islam awal. Tercipta benang merah, Islam awal itu telah terbentuk dengan tiang
pancang keberagaman.
Sosok historis yang berperan besar meneguhkan kearifan mengelola
kemajemukan itu tidak lain, Muhammad. Sebuah sebutan yang menggambarkan
karakter kearifan. Dan di belakang hari ditahbiskan menjadi manusia utusan
Tuhan. Hari-hari yang dijalaninya nyaris digunakan untuk menekuk-lutut cara
pandang kesukuan, kelompok, golongan. Untuk selanjutnya membangun kesadaran
hidup secara damai, toleran dengan penuh ketulusan. Personifikasi Muhammad
Rasulullah menjadi penting untuk dideklarasikan sebagai modal kehidupan
multibudaya. Bukan melihatnya sebagai sosok yang penuh dengan keunggulan
pribadi. Namun lebih dari itu, sebagai pribadi yang memiliki kemampuan melakukan
harmonisasi pada tingkat kesadaran budaya.
Akar Serabut Serbaneka Budaya
Norma-norma kehidupan – untuk tidak menyebut norma relijius semata
– telah menyediakan tatanan alamiah bagi
nilai keberagaman. Namun setelah gagasan-gagasan kesahajaan ditindih nalar ekslusif,
nilai-nilai alamiah keberagaman semakin tidak mendapat tempat bernaung. Sikap
merasa (in being) pada posisi lebih dan terbaik menggeser nilai-nilai
menjadi (to be) lebih maupun terbaik. Nyatanya, model nalar ekslusif
tersebut semakin mendapat tempat teduh terutama setelah mendapat legitimasi
metafisis dan teologis. Pada tingkatan yang menegangkan, ada semacam kegairahan
menunjukkan identitas ekslusifitas dalam kontestasi peradaban dunia saat ini.
Jargon persaingan di tingkat ide maupun praksis menunjuk pada keinginan menjadi
yang terbaik melalui berbagai cara. Salah satunya melalui kekuasaan. Kekuasaan digunakan meretas kebutuhan menjadi
unggul setelah gagal didamaikan dengan keterlibatan pengetahuan. Al-hasil
pengetahuan dilindas oleh nalar kekuasaan yang menggebu-gebu. Dan dalam keadaan
demikian fungsi nalar beranjak menuju mati suri.
Untuk menyebut tatanan keserbaanekaan, Sang Baginda Nabi telah
menelusuri selaksa titah kenabiannya untuk diabdikan bagi landasan kehidupan
harmonis. Bukan dimulai di Madinah, kehidupan keserbaanekaan itu dimulai. Meski
sebagian besar pemerhati keserbaanekaan memercayai mulanya. Namun, serangkaian
landasan keserbaanekaan telah terjalin rapi pada era Makkah. Tak dinyana, serabut
keserbaanekaan muncul dalam nuansa penyelarasan-penyelarasan norma sosial.
Norma kekerabatan, ketetanggaan, sampai pada matra keteraturan pranata sosial
telah menggema dalam masyarakat Arab Makkah. Kerasnya penentangan kerabat dalam
meneruskan tradisi nenek-moyang, tak menyurutkan Nabi mengakui karib kekerabatannya.
Meruncingnya perbedaan keyakinan, tak menghalangi Nabi mengakui ketetanggaan
penentangnya. Kejamnya para mentor sosialnya, tak menghentikan Nabi menyebut
mereka sebagai bangsanya.
Kebutuhan hidup dalam masyarakat damai tak pernah surut pada
periode awal ini. Semata-mata masalah keamanan dan keterasingan menjadikan Nabi
berhijrah. Watak alamiah harmonis dan keselarasan tetap terpatri dalam
kesahajaan. Keberlangsungan hidup dengan nilai-nilai universal menjadi pijakan
mematuhi tujuan hidup bersama.
Nalar Kesadaran Puasa ala Multikulturalisme
Setelah sekat-sekat sosial, politik, kepercayaan dan kekuatan para
kapitalis berakhir, nyatanya diskursus keagamaan menjadi meruncing. Bukannya,
melumerkan kebekuan dan kemandegan tatanan sosial yang ekslusif, masyarakat
Islam dihadapkan pada doktrin harga diri. Mereka menganggap bahwa harga diri
menjadi titik beranjak keunggulan sebagaimana telah dilakukan bangsa-bangsa
yang lain. Natur harga diri tiba-tiba menjadi bagian inti persoalan
masyarakat dan merembet ke ranah agama. Nyatanya, agama tak pernah membuat
harga diri sebagai puncak ajaran. Agama justru menggiring pada kebutuhan
kerjasama antar makhluk Tuhan. Tidak terbatas pada spesies yang bernama
manusia, lebih dari itu berlanjut pada tatanan alam. Sebuah ruang yang amat
semesta.
Paradigma harga diri yang telah berurat akar dalam benak manusia
Muslim, seharusnya dibongkar ulang. Pembongkaran demikian justru diharapkan
dapat menghilangkan kepenatan sejarah yang telah suntuk ini. Dalam rentang masa
panjang, kehidupan kaum Muslim masih berjibaku dengan perasaan paling unggul.
Menganggap yang lain rendah. Merasa paling berhak dilayani. Selalu berasumsi
bahwa kebaikan orang lain tidak perlu dibalas dengan kebaikan yang serupa. Anggapannya,
mengakui kebaikan orang lain berarti mengakui keberadaannya. Mengakui
keberadaannya mereduksi kebenarannya sendiri. Dan pada tinggkatan paling
mengkhawatirkan merasa paling berhak mewarisi dunia dalam keadaan terbelakang.
Sejatinya, puasa pada hari ini tidak diabdikan untuk melestarikan
kerapuhan yang berbungkus kekokohan. Karenanya, tidak muncul dalam ruang publik
perlakuan istimewa atas orang yang berpuasa. Dalam situasi penuh dengan kesadaran
saling menghargai akan muncul sikap saling menghargai pula. Penghargaan tidak
hanya ditujukan bagi orang yang berpuasa. Namun, sebaliknya penghargaan
dilakukan oleh orang yang berpuasa pada umat lain yang tidak berpuasa. Toh,
menghargai orang lain tidak dengan sendirinya merendahkan diri sendiri. Kekurangpahaman
terhadap gagasan ini mengakibatkan banyak anggapan yang salah. Sehingga peta
keberagamaan akan meruncing pada situasi merugikan sesama umat manusia di bumi
ini. Karenanya, cermin sejarah serbaneka budaya perlu dikembangkan sebagai
landasan kesemestaan.
Penulis
adalah kandidat doktor UIN Sunan Ampel Surabaya dan pengajar di STAIN Kediri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar