Rabu, 29 Juni 2016

Dimuat di Radar Kediri, Selasa, 28 Juni 2016


PUASA ALA MULTIKULTURALISME
Oleh : Zayad Abd. Rahman*


Sejak Islam pertama kali dipancangkan dalam tradisi Arab tribal (kesukuan) senyatanya semua ornamen keislaman berhadapan dengan budaya dan cara pandang yang berbeda. Berjibun budaya suku menunggu sentuhan kearifan. Perbedaan yang acap menjadi bara konflik telah genap tak bersuara di hadapan Islam awal. Tercipta benang merah, Islam awal itu telah terbentuk dengan tiang pancang keberagaman.
Sosok historis yang berperan besar meneguhkan kearifan mengelola kemajemukan itu tidak lain, Muhammad. Sebuah sebutan yang menggambarkan karakter kearifan. Dan di belakang hari ditahbiskan menjadi manusia utusan Tuhan. Hari-hari yang dijalaninya nyaris digunakan untuk menekuk-lutut cara pandang kesukuan, kelompok, golongan. Untuk selanjutnya membangun kesadaran hidup secara damai, toleran dengan penuh ketulusan. Personifikasi Muhammad Rasulullah menjadi penting untuk dideklarasikan sebagai modal kehidupan multibudaya. Bukan melihatnya sebagai sosok yang penuh dengan keunggulan pribadi. Namun lebih dari itu, sebagai pribadi yang memiliki kemampuan melakukan harmonisasi pada tingkat kesadaran budaya. 

Akar Serabut Serbaneka Budaya
Norma-norma kehidupan – untuk tidak menyebut norma relijius semata – telah menyediakan  tatanan alamiah bagi nilai keberagaman. Namun setelah gagasan-gagasan kesahajaan ditindih nalar ekslusif, nilai-nilai alamiah keberagaman semakin tidak mendapat tempat bernaung. Sikap merasa (in being) pada posisi lebih dan terbaik menggeser nilai-nilai menjadi (to be) lebih maupun terbaik. Nyatanya, model nalar ekslusif tersebut semakin mendapat tempat teduh terutama setelah mendapat legitimasi metafisis dan teologis. Pada tingkatan yang menegangkan, ada semacam kegairahan menunjukkan identitas ekslusifitas dalam kontestasi peradaban dunia saat ini. Jargon persaingan di tingkat ide maupun praksis menunjuk pada keinginan menjadi yang terbaik melalui berbagai cara. Salah satunya melalui kekuasaan.  Kekuasaan digunakan meretas kebutuhan menjadi unggul setelah gagal didamaikan dengan keterlibatan pengetahuan. Al-hasil pengetahuan dilindas oleh nalar kekuasaan yang menggebu-gebu. Dan dalam keadaan demikian fungsi nalar beranjak menuju mati suri.
Untuk menyebut tatanan keserbaanekaan, Sang Baginda Nabi telah menelusuri selaksa titah kenabiannya untuk diabdikan bagi landasan kehidupan harmonis. Bukan dimulai di Madinah, kehidupan keserbaanekaan itu dimulai. Meski sebagian besar pemerhati keserbaanekaan memercayai mulanya. Namun, serangkaian landasan keserbaanekaan telah terjalin rapi pada  era Makkah. Tak dinyana, serabut keserbaanekaan muncul dalam nuansa penyelarasan-penyelarasan norma sosial. Norma kekerabatan, ketetanggaan, sampai pada matra keteraturan pranata sosial telah menggema dalam masyarakat Arab Makkah. Kerasnya penentangan kerabat dalam meneruskan tradisi nenek-moyang, tak menyurutkan  Nabi mengakui karib kekerabatannya. Meruncingnya perbedaan keyakinan, tak menghalangi Nabi mengakui ketetanggaan penentangnya. Kejamnya para mentor sosialnya, tak menghentikan Nabi menyebut mereka sebagai bangsanya.
Kebutuhan hidup dalam masyarakat damai tak pernah surut pada periode awal ini. Semata-mata masalah keamanan dan keterasingan menjadikan Nabi berhijrah. Watak alamiah harmonis dan keselarasan tetap terpatri dalam kesahajaan. Keberlangsungan hidup dengan nilai-nilai universal menjadi pijakan mematuhi tujuan hidup bersama.
Nalar Kesadaran Puasa ala Multikulturalisme
Setelah sekat-sekat sosial, politik, kepercayaan dan kekuatan para kapitalis berakhir, nyatanya diskursus keagamaan menjadi meruncing. Bukannya, melumerkan kebekuan dan kemandegan tatanan sosial yang ekslusif, masyarakat Islam dihadapkan pada doktrin harga diri. Mereka menganggap bahwa harga diri menjadi titik beranjak keunggulan sebagaimana telah dilakukan bangsa-bangsa yang lain. Natur harga diri tiba-tiba menjadi bagian inti persoalan masyarakat dan merembet ke ranah agama. Nyatanya, agama tak pernah membuat harga diri sebagai puncak ajaran. Agama justru menggiring pada kebutuhan kerjasama antar makhluk Tuhan. Tidak terbatas pada spesies yang bernama manusia, lebih dari itu berlanjut pada tatanan alam. Sebuah ruang yang amat semesta.
Paradigma harga diri yang telah berurat akar dalam benak manusia Muslim, seharusnya dibongkar ulang. Pembongkaran demikian justru diharapkan dapat menghilangkan kepenatan sejarah yang telah suntuk ini. Dalam rentang masa panjang, kehidupan kaum Muslim masih berjibaku dengan perasaan paling unggul. Menganggap yang lain rendah. Merasa paling berhak dilayani. Selalu berasumsi bahwa kebaikan orang lain tidak perlu dibalas dengan kebaikan yang serupa. Anggapannya, mengakui kebaikan orang lain berarti mengakui keberadaannya. Mengakui keberadaannya mereduksi kebenarannya sendiri. Dan pada tinggkatan paling mengkhawatirkan merasa paling berhak mewarisi dunia dalam keadaan terbelakang.
Sejatinya, puasa pada hari ini tidak diabdikan untuk melestarikan kerapuhan yang berbungkus kekokohan. Karenanya, tidak muncul dalam ruang publik perlakuan istimewa atas orang yang berpuasa. Dalam situasi penuh dengan kesadaran saling menghargai akan muncul sikap saling menghargai pula. Penghargaan tidak hanya ditujukan bagi orang yang berpuasa. Namun, sebaliknya penghargaan dilakukan oleh orang yang berpuasa pada umat lain yang tidak berpuasa. Toh, menghargai orang lain tidak dengan sendirinya merendahkan diri sendiri. Kekurangpahaman terhadap gagasan ini mengakibatkan banyak anggapan yang salah. Sehingga peta keberagamaan akan meruncing pada situasi merugikan sesama umat manusia di bumi ini. Karenanya, cermin sejarah serbaneka budaya perlu dikembangkan sebagai landasan kesemestaan.
Penulis adalah kandidat doktor UIN Sunan Ampel Surabaya dan pengajar di STAIN Kediri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar