Kamis, 22 Maret 2018

Dimuat Radar Kediri, 9 Maret 2018



Berderma Agar Terpilih Jadi Pemimpin Daerah

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Bagaimana hukumnya berderma dengan misalnya memberi uang atau barang pada orang agar mau memilihnya menjadi wali kota, bupati, atau gubernur. Mohon penjelasan, terima kasih (Ridho, Kediri, 085852877xxx).

Jawaban :
Saudara Ridho yang berbahagia, dapat kita ketahui bersama bahwa pemberian yang dilakukan menjelang pesta politik semisal Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) begitu marak saat ini. Lebih-lebih mendekati hari pelaksanaannnya. Karena itu perlu dijelaskan beberapa hal sebagai berikut.
Pertama, telah terjadi perubahan sosial yang meningkat dan tajam seiring dengan perubahan nilai dalam kehidupan masyarakat dalam berbangsa, bernegara dan beragama. Perubahan tersebut mengakibatkan perubahan penggunaan bahasa dan maknanya sekaligus. Bahasa agama yang sedemikian transendental (luhur) berubah menjadi bahasa yang mengandung kepentingan politik. Sebagai contoh istilah silaturrahmi menggambarkan makna tulus untuk mewujudkan ikatan persaudaran dan berubah makna menjadi salah satu aktifitas politik yang disebut kampanye. Juga aktifitas pemberian dalam bentuk hibah, shadaqah, infaq dan bentuk derma lain berubah maknanya menjadi suap, money politic maupun gratifikasi. Semua perubahan itu terjadi oleh faktor kepentingan dan motif yang melatar belakanginya.
Kedua, penentu aktifitas yang pada dasarnya baik itu terletak pada niat. Istilah niat menggambarkan arah aktifitas yang menjadi tujuan akhirnya. Dalam bidang ibadah, niat menjadi penentu keabsahan. Namun di atas niat terdapat ruang yang lebih besar lagi dan disebut sebagai motif (al-qasdu). Seseorang yang melaksanakan salat dinyatakan keabsahannya dengan memenuhi semua rukunnya dan salah satu rukunnya adalah niat. Namun,  keabsahan yang tampak bersifat formal itu dipengaruhi oleh motif. Niat dapat menggugurkan keabsahan salat. Sementara motif tidak dapat membatalkannya.
Ketiga, motif memengaruhi perbuatan seseorang di tingkat etika (amaliyah batiniyah). Meskipun seseorang telah melaksanakan salat dengan memenuhi segala ketentuannya, secara formal salatnya dinyatakan sah. Dan bahkan dengan motif yang tidak sejalan dengan niatnya. Semisal salat dengan motif menunjukkan kealimannya. Namun, ibadah tersebut dinyatakan tidak memenuhi unsur etika. Tidak pantas, tidak sesuai dengan tempatnya dan tentu tidak memiliki bobot.
Atas gambaran di atas, secara formal sedekah yang diberikan dengan motif  memengaruhi dan menggiring orang untuk menjatuhkan pilihan pada calon tertentu tidak dinyatakan menggugurkan keabsahannya. Sangat berbeda jika sedekah tersebut telah dinyatakan dengan niat untuk mengajak, memerintah orang  menjatuhkan pilihan pada calon tertentu. Keadaan seperti ini dinamakan dengan suap (risywah). Karena istilah niat menunjuk pada formalitas perbuatan hukum.  Jika niatnya tidak benar, maka perbuatannya dianggap melawan hukum. Perbuatan melawan hukum  merupakan asal adanya sanksi.
Jika dilihat dari cara berpikir ini, redaksi yang menyatakan “agar mau memilihnya” merupakan pernyataan yang mengandung makna niat. Dengan demikian, kegiatan berderma sebagaimana pertanyaan di atas dapat dikategorikan sebagai suap. Dan suap dalam konteks hukum Islam dinyatakan sebagai perbuatan haram. Sementara, dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia, Tindak Pidana Suap diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1980. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Zayad Abd. Rahman, MHI dosen Hukum Islam Jurusan Syariah STAIN Kediri.