Berderma
Agar Terpilih Jadi Pemimpin Daerah
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Bagaimana hukumnya berderma dengan misalnya memberi uang atau
barang pada orang agar mau memilihnya menjadi wali kota, bupati, atau gubernur.
Mohon penjelasan, terima kasih (Ridho, Kediri, 085852877xxx).
Jawaban :
Saudara Ridho yang berbahagia, dapat kita ketahui bersama bahwa
pemberian yang dilakukan menjelang pesta politik semisal Pemilihan Umum
(Pemilu) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) begitu marak saat ini.
Lebih-lebih mendekati hari pelaksanaannnya. Karena itu perlu dijelaskan
beberapa hal sebagai berikut.
Pertama, telah terjadi perubahan sosial yang meningkat dan tajam seiring
dengan perubahan nilai dalam kehidupan masyarakat dalam berbangsa, bernegara
dan beragama. Perubahan tersebut mengakibatkan perubahan penggunaan bahasa dan
maknanya sekaligus. Bahasa agama yang sedemikian transendental (luhur) berubah
menjadi bahasa yang mengandung kepentingan politik. Sebagai contoh istilah silaturrahmi
menggambarkan makna tulus untuk mewujudkan ikatan persaudaran dan berubah makna
menjadi salah satu aktifitas politik yang disebut kampanye. Juga aktifitas
pemberian dalam bentuk hibah, shadaqah, infaq dan bentuk derma lain berubah
maknanya menjadi suap, money politic maupun gratifikasi. Semua perubahan
itu terjadi oleh faktor kepentingan dan motif yang melatar belakanginya.
Kedua, penentu aktifitas yang pada dasarnya baik itu terletak pada niat.
Istilah niat menggambarkan arah aktifitas yang menjadi tujuan akhirnya. Dalam
bidang ibadah, niat menjadi penentu keabsahan. Namun di atas niat terdapat
ruang yang lebih besar lagi dan disebut sebagai motif (al-qasdu). Seseorang
yang melaksanakan salat dinyatakan keabsahannya dengan memenuhi semua rukunnya
dan salah satu rukunnya adalah niat. Namun,
keabsahan yang tampak bersifat formal itu dipengaruhi oleh motif. Niat
dapat menggugurkan keabsahan salat. Sementara motif tidak dapat membatalkannya.
Ketiga, motif memengaruhi perbuatan seseorang di tingkat etika (amaliyah
batiniyah). Meskipun seseorang telah melaksanakan salat dengan memenuhi
segala ketentuannya, secara formal salatnya dinyatakan sah. Dan bahkan dengan
motif yang tidak sejalan dengan niatnya. Semisal salat dengan motif menunjukkan
kealimannya. Namun, ibadah tersebut dinyatakan tidak memenuhi unsur etika.
Tidak pantas, tidak sesuai dengan tempatnya dan tentu tidak memiliki bobot.
Atas gambaran di atas, secara formal sedekah yang diberikan dengan
motif memengaruhi dan menggiring orang
untuk menjatuhkan pilihan pada calon tertentu tidak dinyatakan menggugurkan
keabsahannya. Sangat berbeda jika sedekah tersebut telah dinyatakan dengan niat
untuk mengajak, memerintah orang menjatuhkan
pilihan pada calon tertentu. Keadaan seperti ini dinamakan dengan suap (risywah).
Karena istilah niat menunjuk pada formalitas perbuatan hukum. Jika niatnya tidak benar, maka perbuatannya
dianggap melawan hukum. Perbuatan melawan hukum
merupakan asal adanya sanksi.
Jika dilihat dari cara berpikir ini, redaksi yang menyatakan “agar
mau memilihnya” merupakan pernyataan yang mengandung makna niat. Dengan
demikian, kegiatan berderma sebagaimana pertanyaan di atas dapat dikategorikan
sebagai suap. Dan suap dalam konteks hukum Islam dinyatakan sebagai perbuatan
haram. Sementara, dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia, Tindak Pidana
Suap diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1980. Wallahu
a’lam bi al-shawab.
Zayad Abd. Rahman, MHI dosen Hukum Islam Jurusan Syariah STAIN
Kediri.