الحمد لله الذي
رفع من أراد به خيرا بالعلم والإيمان ، وخذل المعرضين عن الهدى وعرضهم لكل هلاك
وهوان . وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له ، الكريم المنان ، وأشهد أن
محمدا عبده ورسوله الذي كمل الله له الفضائل والحسن والإحسان ، اللهم صل وسلم على
محمد وعلى آله وأصحابه والتابعين لهم مدى الزمان . أما بعد، فياأيها المسلمون
أوصيكم وإياي بتقوى الله عز وجل والتَّمَسُّكِ بهذا الدِّين تَمَسُّكًا قَوِيًّا.
فقال الله تعالى في كتابه الكريم، أعوذ بالله من الشيطان الرجيم “يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا
وَأَنْتُمْ مُسْلِمُون.
Sidang Jumah yang berbahagia,
Marilah kita senantiasa meningkatkan kualitas pengabdian
kita kepada Allah SWT dengan taqwa yang sebenar-benarnya yakni mengetahui hukum
perintah dan menjalankannya serta mengetahui hukum larangan dan menjauhinya
sebagai bagian dari cerminan keimanan kepada Allah Yang Maha Kuasa.
Sidang Jumah yang berbahagia,
Bahwasanya kita telah memasuki bulan Agustus sebagai
bulan yang penuh dengan peristiwa kenegaraan dan kebangsaan. Meski bukan bulan
yang terkait langsung dengan peristiwa keagamaan, namun kita perlu mengetahui
kejadian penting yang ada di dalamnya sebagai bagian dari cara mempertebal
keimanan kita untuk mencintai negeri ini, yakni Indonesia. Dan lebih dari itu,
saya selaku khatib menggunakan bahasa Indonesia untuk menunjukkan bukti mencintai
negeri ini di bawah bayang-bayang kelompok yang tampak ragu mendarmabaktikan
seluruh hidupnya mempertahankan tanah air Indonesia. Indonesia Raya yang
beraneka menjadi ganjalan besar bagi kelompok tertentu mencurahkan segala
kemampuannnya mengisi kemerdekaan. Kelompok tersebut baru mengakui dan mengisi
bumi pertiwi setelah semuanya dijadikan satu kemasan pandangan hidup yang acap
disebut sebagai syariat. Tampaknya gejala ini tak memenuhi pondasi keagamaan
yang kokoh.
Sidang Jumah yang berbahagia,
Bahwa keanekaragaman budaya, tradisi, warna kulit,
golongan maupun suku dan agama merupakan hukum alam yang disediakan Penciptanya
sebagai ladang bersemayamnya kebaikan-kebaikan. Bahkan kepercayaan dan keimanan
yang beragam tidak diciptakan dengan satu warna. Allah SWT justru menegaskan
gejala demikian sebagai hal yang dikehendaki sekaligus menolak keserbatunggalan
sebagai hal yang tidak dikehendaki.
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ
لَآمَنَ مَن فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا ۚ أَفَأَنتَ تُكْرِهُ النَّاسَ
حَتَّىٰ يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ (99) وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ
أَن تُؤْمِنَ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ وَيَجْعَلُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لَا
يَعْقِلُونَ
Artinya :
“Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah semua orang
yang di berada muka bumi beriman seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang
beriman semuanya? Dan tidak ada seorang pun akan beriman kecuali dengan izin
Allah; dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak
mempergunakan akalnya”.
Jelaslah bahwa secara akidah, landasan atas
keanekaragaman telah dinyatakan kokoh tanpa ada keraguan di dalamnya. Kalau
demikian, dimana letak ketidaknyamanan menerima keanekaragaman itu?
Sidang Jumah yang berbahagia,
Salah satu hal yang menjadi keyakinan hidup yang
sampai hari ini terus menerus diidamkan oleh kelompok Islam formal adalah syariat.
Istilah syariat menjadi kata kunci untuk disiarkan dan diyakini sebagai
penyelesai semua persoalan hidup termasuk di dalamnya keanekaragaman. Jika
demikian halnya, maka landasan akidah mengenai keanekaragaman harus dicabut.
Senyatanya ayat tentang keanekaragaman tak pernah dicabut oleh Penciptanya
sendiri, yakni Allah SWT. Namun
pengejaran terhadap berlakunya syariat untuk diberlakukan dalam kehidupan
manusia tidak pernah lelah didengung-dengungkan. Momentum pemberlakuan syariat
mencapai puncaknya ketika ukuran baik dan buruk ditentukan oleh nilai-nilai
yang ada di dalamnya. Lantas muncul pertanyaan, dapatkah umat Islam hidup dalam
masyarakat yang beragam itu ? Masyarakat majemuk sebagai sebutan yang menunjuk
pada keberagaman mempersyaratkan dua atau lebih nilai yang saling bertentangan
satu dengan lain. Dalam pandangan kelompok Islam formal akan didapati persoalan
yang sulit untuk didamaikan. Jika syariat menyatakan sesuatu hal sebagai kebaikan,
sementara umat yang lain mendapati sebagai pelanggaran. Atau sebaliknya dengan
asumsi jika umat lain menyatakan sesuatu hal sebagai kebaikan, sementara di
pihak lain syariat menyatakannya sebagai kemaksiatan.
Dapatkah kemaksiatan dengan bentuk dan jenisnya yang
beragam itu diterima oleh umat lain sebagai kebaikan. Gambaran ringkasnya
dapatkah umat Islam hidup berdampingan dengan umat lain yang mengkonsumsi babi.
Jelasnya memakan daging babi merupakan sebagian bentuk pelanggaran dan
kemaksiatan bagi umat Islam. Sementara, bagi umat agama lain, memakan babi dinyatakan
sebagai hal yang tidak menyimpang atau pelanggaran menurut ajaran agama mereka.
Selebihnya, terdapat perumpamaan sebaliknya. Bahwa
umat agama lain memercayai dan meyakini sapi sebagai hewan suci yang harus
dihormati. Namun di sisi lain, umat Islam melalui syariat agamanya menyatakan
sapi sebagai hewan yang halal dikonsumsi melalui penyembelihan. Dapat
dibayangkan apa yang terjadi kemudian. Syariat bertarung dan berkonflik dengan ajaran agama lain. Dan semua umat beragama
meyakini ajarannya sebagai kebenaran mutlak. Kebenaran versus kebenaran. Jika
dipertentangkan, tak jarang menimbulkan pertumpahan darah yang dipenuhi dengan
tangis pilu. Dan jika peperangan menjadi jalan menyelesaikan masalah, syariat
menyatakannnya sebagai jihad. Benarkah demikian ?
Sidang Jumah yang berbahagia,
Inilah watak syariat. Cara pandang dari sudut syariat
selalu memunculkan dua pembedaan yang jelas antara yang boleh dan tidak boleh.
Jika boleh atau justru diperintahkan maka harus dilakukan. Dan jika dilarang
maka harus ditinggalkan. Jika digambarkan, syariat hanya memiliki dua warna saja. Hitam dan
putih. Dan tentu, cara pandang syariat segera dan segera membuat kehidupan
menjadi dua bagian. Saya yang benar dan Engkau yang tidak benar. Jika demikian,
tampak orang yang menggunakan cara pandang syariat berlaku dalam suasana yang
menegangkan. Jika ia berjalan dan mendapati fakta kejadian yang sesuai dengan
syariat, tentu ekpresi kegembiraan akan dirasakan. Namun, jika mendapati fakta
yang tidak sesuai dengan syariat, akan muncul ungkapan ketidaksukaan dan dalam
tingkatan tertentu memantik amarah untuk menentang dan menghilangkannya. Jika cara pandang syariat tidak memenuhi
kebutuhan untuk hidup bersama, lantas dengan cara apa kita dapat hidup bersama
dengan kelompok atau umat lain ?
Sidang Jumah yang berbahagia,
Setelah dua aspek utama telah dilalui, yakni akidah
dan syariat, kaum Muslim harus menyempurnakannya dengan tata krama kehidupan,
dalam istilah keagamaan biasa disebut sebagai akhlaq atau etika. Akidah tanpa
syariat seperti rancangan tanpa pelaksanaan. Syariat tanpa akhlaq seperti orang
yang telanjang. Meski telah sempurna sebagai manusia, ia tak ada bedanya dengan
binatang. Namun, akhlaq tanpa syariat seperti pakaian tanpa badan. Tampak indah
dalam etalase sang perancang busana. Ilustrasi
ini bisa digunakan untuk menggambarkan keadaan salat kita. Menurut syariat,
salat yang telah memenuhi syarat dan ketentuannya, maka dinyatakan sah dan
orang yang telah melakukannya tidak dibebani i’adah (mengulangi)
salatnya. Sebatas itu syariat mengatur perilaku manusia. Karena itu, dalam
kaitannya dengan syariat, Nabi menyatakan, nahnu
nahkumu bidhawahir wallahu ya’lamu bi sarair, kita berhukum pada yang
tampak saja, sementara urusan batiniyah berada di bawah kewenangan Allah.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa syariat adalah hukum. Dan kajian tentang
hukum dalam ilmu pengetahuan Islam disebut fikih.
Ditambah lagi, bahwa di dalam salat, ulama fikih
mempersyaratkan tumakninah hanya dengan ukuran lamanya mengucapkan subhanallah.
Jika demikian adanya, orang salat sulit dibedakan dengan penari saman,
sebuah tarian khas Aceh. Pantaskah kita salat dengan kriteria hukum sah, namun
tak menghiraukan tata krama berkomunikasi dengan Allah SWT.
Sidang Jumah yang berbahagia,
Dalam pergaulan masyarakat yang majemuk, contoh
penerapan akhlak telah ditunjukkan para ulama yang mumpuni. Sebutan mumpuni
ditujukan atas pemberlakuan syariat dengan cara yang santun. Sunan Kudus
membimbing masyarakat Kudus untuk tidak menyembelih sapi sebagai hidangan atau
perjamuan mereka. Pertimbangannya sebagai bentuk tepo-slira, menjaga
perasaan orang Hindu yang dengan susah payah meyakini kesucian sapi. Jangankan
menyembelih, sapi dihormati melebihi manusia. Sunan Kudus tidak sedang membuat
syariat baru dengan melarang umat Islam menyembelih sapi. Namun beliau
berkehendak untuk dapat hidup bersama dengan orang yang tidak seagama
sekalipun. Jika kita memaksakan keyakinan sebagai kebenaran mutlak, akibat dari
pemaksaan itu berujung pada terciptanya suasana ketegangan. Ketegangan menjalar
pada kebencian, kebencian menciptakan perselisihan dan perselisihan menjadikan
bibit konflik yang berkepanjangan sebagaimana pembantaian kepada kaum Muslim
oleh kelompok Hindu di India. Cara gegabah menghilangkan nyawa orang tidak
menjadi inti ajaran agama yang dibawa oleh Rasulullah yang rauf dan rahim.
Sidang Jumah yang berbahagia,
Hidup bersama dengan umat lain dengan tingkat
kemajemukan yang tinggi di Indonesia harus dilandasi dengan sudut pandang
akhlaq. Di Indonesia terdapat 1.340 suku dan di Afghanistan hanya 7 suku. Meski
dengan 7 suku, perang yang berlangsung 40 tahun di antara mereka belum memberi
petunjuk untuk segera berakhir. Yang benar bukan syariatisasi, namun
akhlakisasi. Dengan cara ini, bakdatun thayyibatun wa rabbun ghafur akan
segera tercapai.
Negara kita, Indonesia bukanlah Negara Thaghut, Negara
Indonesia bukan negara kafir. Negara kita, telah melalui perumusan yang canggih
dan matang oleh para Ulama. Ulama itu aktor intelektualnya umat Islam. Mereka
orang hebat. Mereka tidak menutup mata terhadap dasar dan bentuk Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Mereka tidak tidur. Mereka terlibat aktif
merumuskan kebahagiaan dunia dan akhirat bagi seluruh bangsa Indonesia. Mereka
rela tidak menikmati hasil jerih payah
kemerdekaan.
Kualat banget kalo kita merusak jalinan benang yang
telah dirajut dengan indah. Sangat nista tak berani berkorban hingga titik
darah penghabisan. Kita tidak mau disebut generasi ecek-ecek. Yang baru bangun
tidur dan menyalahkan bangunan para pendiri bangsa.
Kita tidak berada di tempat yang salah. Kita berada di
tempat yang benar yakni Indonesia tercinta.
Dirgahayu Kemerdekaan Indonesia yang ke-73, Kerja
Kita Prestasi Bangsa.
بارك الله لى ولكم فى القرآن العظيم
ونفعنى واياكم بما فيه من الايات والذكر الحكيم وتقبل الله منى ومنكم تلاوته انه
هو السميع العليم
الخطبة الثاني
الحَمْدُ ِللهِ الَّذِى تَتِمُّ
الصَّالِحَاتِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لا إِلهَ إِلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيْكَ لَهُ
وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، اللّهُمَّ صَلِّ
وَسَلِّمْ عَلى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ
أَجْمَعِيْنَ
أَمَّا بَعْدُ فَيَا أَيُّهَا المُؤْمِنُوْنَ اتَّقُوْا اللهَ أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ فَقَدْ فَازَ المُتَّقُوْنَ
قال الله تعالى : إِذَا جَآءَ نَصْرُ اللهِ وَالفَتْحُ وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُوْنَ فِى دِيْنِ اللهِ أَفْوَاجًا فَسَبِّحْ ِبحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا.
أَمَّا بَعْدُ فَيَا أَيُّهَا المُؤْمِنُوْنَ اتَّقُوْا اللهَ أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ فَقَدْ فَازَ المُتَّقُوْنَ
قال الله تعالى : إِذَا جَآءَ نَصْرُ اللهِ وَالفَتْحُ وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُوْنَ فِى دِيْنِ اللهِ أَفْوَاجًا فَسَبِّحْ ِبحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا.
إِنَّ اللهَ وَمَلائِكَتَهُ
يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ يَاأَيُّهَااَّلذِيْنَ آمَنُوْ ا صَلُّوْا عَلَيْهِ
وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا اللّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ
سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وعلى آلِ
سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ
سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ
سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ فِي العَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
اللّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ
وَالمُسْلِمَاتِ وَالمُؤْمِنِيْنَ وَالمُؤْمِنَاتِ الأحْيَاءِ مِنْهُمْ
وَالأمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ وَقَاضِيْ
الحَاجَاتِ وَأَلِّفْ بَيْنَ قُلُوْبِهِمْ وَأَصْلِحْ ذَاتَ بَيْنِهِمْ
وَانْصُرْهُمْ عَلَى عَدُوِّكَ وَعَدُوِّهِمْ، اللّهُمَّ لا تُسَلِّطْ عَلَيْنَا
مَنْ لايَخَافُكَ وَلا يَرْحَمُنَا، اللّهُمَّ انْصُرِ المُجَاهِدِيْنَ الَّذِيْنَ
يُجَاهِدُوْنَ فِي سَبِيْلِكَ فِي كُلِّ زَمَانٍ وَمَكَانٍ، اللّهُمَّ انْصُرْ
مَنْ نَصَرَ دِيْنَكَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ دِيْنَكَ، اللّهُمَّ أَعِزَّ
الإسْلامَ وَالمُسْلِمِيْنَ وَأَذِّلَّ الشِّرْكَ وَالمُشْرِكِيْنَ وَدَمِّرْ
أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَانْصُرْ عِبَادَكَ المُؤْمِنِيْنَ، اللَّهُمَّ إِنِّا
نعُوذُبِكَ مِنْ البَرَصِ، وَالجُنُونِ، وَالجُذَامِ، وَمِنْ سَيِّءِ الأَسْقَامِ
تَحَصَّنَا بِذِى الْعزَّةِ وَالْجَبَرُوْتِ وَاعَتَصَمْنَا بِرَبِّ الْمَلَكُوْتِ
وَتَوَكَّلْنَا عَلَى الْحَيِّ الَّذِى لاَ يَمُوْتُ رَبَّنَا لاتُزِغْ
قُلُوْبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ
أَنْتَ الوَهَّاب رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ
حَسَنَةً وَ قِنَاعَذَاب
النَّاَر.
عِبَادَ اللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ
بِالعَدْلِ وَالإ حْسَانِ وَاِيْتَآءِ ذِيْ القُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ
وَالمُنْكَرِ وَالبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ فَاذْكُرُوْا اللهَ
العَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْا عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَاسْأَلُوْهُ
مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكَمْ وَلَذِكْرُ اللهِ اكْبرَ