Senin, 20 Agustus 2018

KHUTBAH JUMAT AGUSTUSAN



الحمد لله الذي رفع من أراد به خيرا بالعلم والإيمان ، وخذل المعرضين عن الهدى وعرضهم لكل هلاك وهوان . وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له ، الكريم المنان ، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله الذي كمل الله له الفضائل والحسن والإحسان ، اللهم صل وسلم على محمد وعلى آله وأصحابه والتابعين لهم مدى الزمان . أما بعد، فياأيها المسلمون أوصيكم وإياي بتقوى الله عز وجل والتَّمَسُّكِ بهذا الدِّين تَمَسُّكًا قَوِيًّا. فقال الله تعالى في كتابه الكريم، أعوذ بالله من الشيطان الرجيم “يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُون.
Sidang Jumah yang berbahagia,
Marilah kita senantiasa meningkatkan kualitas pengabdian kita kepada Allah SWT dengan taqwa yang sebenar-benarnya yakni mengetahui hukum perintah dan menjalankannya serta mengetahui hukum larangan dan menjauhinya sebagai bagian dari cerminan keimanan kepada Allah Yang Maha Kuasa.

Sidang Jumah yang berbahagia,
Bahwasanya kita telah memasuki bulan Agustus sebagai bulan yang penuh dengan peristiwa kenegaraan dan kebangsaan. Meski bukan bulan yang terkait langsung dengan peristiwa keagamaan, namun kita perlu mengetahui kejadian penting yang ada di dalamnya sebagai bagian dari cara mempertebal keimanan kita untuk mencintai negeri ini, yakni Indonesia. Dan lebih dari itu, saya selaku khatib menggunakan bahasa Indonesia untuk menunjukkan bukti mencintai negeri ini di bawah bayang-bayang kelompok yang tampak ragu mendarmabaktikan seluruh hidupnya mempertahankan tanah air Indonesia. Indonesia Raya yang beraneka menjadi ganjalan besar bagi kelompok tertentu mencurahkan segala kemampuannnya mengisi kemerdekaan. Kelompok tersebut baru mengakui dan mengisi bumi pertiwi setelah semuanya dijadikan satu kemasan pandangan hidup yang acap disebut sebagai syariat. Tampaknya gejala ini tak memenuhi pondasi keagamaan yang kokoh.

Sidang Jumah yang berbahagia,
Bahwa keanekaragaman budaya, tradisi, warna kulit, golongan maupun suku dan agama merupakan hukum alam yang disediakan Penciptanya sebagai ladang bersemayamnya kebaikan-kebaikan. Bahkan kepercayaan dan keimanan yang beragam tidak diciptakan dengan satu warna. Allah SWT justru menegaskan gejala demikian sebagai hal yang dikehendaki sekaligus menolak keserbatunggalan sebagai hal yang tidak dikehendaki.

وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَن فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا ۚ أَفَأَنتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّىٰ يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ (99) وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَن تُؤْمِنَ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ وَيَجْعَلُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لَا يَعْقِلُونَ
Artinya :
“Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah semua orang yang di berada muka bumi beriman seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya? Dan tidak ada seorang pun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya”.

Jelaslah bahwa secara akidah, landasan atas keanekaragaman telah dinyatakan kokoh tanpa ada keraguan di dalamnya. Kalau demikian, dimana letak ketidaknyamanan menerima keanekaragaman itu?

Sidang Jumah yang berbahagia,
Salah satu hal yang menjadi keyakinan hidup yang sampai hari ini terus menerus diidamkan oleh kelompok Islam formal adalah syariat. Istilah syariat menjadi kata kunci untuk disiarkan dan diyakini sebagai penyelesai semua persoalan hidup termasuk di dalamnya keanekaragaman. Jika demikian halnya, maka landasan akidah mengenai keanekaragaman harus dicabut. Senyatanya ayat tentang keanekaragaman tak pernah dicabut oleh Penciptanya sendiri, yakni Allah SWT.  Namun pengejaran terhadap berlakunya syariat untuk diberlakukan dalam kehidupan manusia tidak pernah lelah didengung-dengungkan. Momentum pemberlakuan syariat mencapai puncaknya ketika ukuran baik dan buruk ditentukan oleh nilai-nilai yang ada di dalamnya. Lantas muncul pertanyaan, dapatkah umat Islam hidup dalam masyarakat yang beragam itu ? Masyarakat majemuk sebagai sebutan yang menunjuk pada keberagaman mempersyaratkan dua atau lebih nilai yang saling bertentangan satu dengan lain. Dalam pandangan kelompok Islam formal akan didapati persoalan yang sulit untuk didamaikan. Jika syariat menyatakan sesuatu hal sebagai kebaikan, sementara umat yang lain mendapati sebagai pelanggaran. Atau sebaliknya dengan asumsi jika umat lain menyatakan sesuatu hal sebagai kebaikan, sementara di pihak lain syariat menyatakannya sebagai kemaksiatan.
Dapatkah kemaksiatan dengan bentuk dan jenisnya yang beragam itu diterima oleh umat lain sebagai kebaikan. Gambaran ringkasnya dapatkah umat Islam hidup berdampingan dengan umat lain yang mengkonsumsi babi. Jelasnya memakan daging babi merupakan sebagian bentuk pelanggaran dan kemaksiatan bagi umat Islam. Sementara, bagi umat agama lain, memakan babi dinyatakan sebagai hal yang tidak menyimpang atau pelanggaran menurut ajaran agama mereka.
Selebihnya, terdapat perumpamaan sebaliknya. Bahwa umat agama lain memercayai dan meyakini sapi sebagai hewan suci yang harus dihormati. Namun di sisi lain, umat Islam melalui syariat agamanya menyatakan sapi sebagai hewan yang halal dikonsumsi melalui penyembelihan. Dapat dibayangkan apa yang terjadi kemudian. Syariat bertarung dan berkonflik dengan  ajaran agama lain. Dan semua umat beragama meyakini ajarannya sebagai kebenaran mutlak. Kebenaran versus kebenaran. Jika dipertentangkan, tak jarang menimbulkan pertumpahan darah yang dipenuhi dengan tangis pilu. Dan jika peperangan menjadi jalan menyelesaikan masalah, syariat menyatakannnya sebagai jihad. Benarkah demikian ?

Sidang Jumah yang berbahagia,
Inilah watak syariat. Cara pandang dari sudut syariat selalu memunculkan dua pembedaan yang jelas antara yang boleh dan tidak boleh. Jika boleh atau justru diperintahkan maka harus dilakukan. Dan jika dilarang maka harus ditinggalkan. Jika digambarkan, syariat  hanya memiliki dua warna saja. Hitam dan putih. Dan tentu, cara pandang syariat segera dan segera membuat kehidupan menjadi dua bagian. Saya yang benar dan Engkau yang tidak benar. Jika demikian, tampak orang yang menggunakan cara pandang syariat berlaku dalam suasana yang menegangkan. Jika ia berjalan dan mendapati fakta kejadian yang sesuai dengan syariat, tentu ekpresi kegembiraan akan dirasakan. Namun, jika mendapati fakta yang tidak sesuai dengan syariat, akan muncul ungkapan ketidaksukaan dan dalam tingkatan tertentu memantik amarah untuk menentang dan menghilangkannya.  Jika cara pandang syariat tidak memenuhi kebutuhan untuk hidup bersama, lantas dengan cara apa kita dapat hidup bersama dengan kelompok atau umat lain ?

Sidang Jumah yang berbahagia,
Setelah dua aspek utama telah dilalui, yakni akidah dan syariat, kaum Muslim harus menyempurnakannya dengan tata krama kehidupan, dalam istilah keagamaan biasa disebut sebagai akhlaq atau etika. Akidah tanpa syariat seperti rancangan tanpa pelaksanaan. Syariat tanpa akhlaq seperti orang yang telanjang. Meski telah sempurna sebagai manusia, ia tak ada bedanya dengan binatang. Namun, akhlaq tanpa syariat seperti pakaian tanpa badan. Tampak indah dalam etalase  sang perancang busana. Ilustrasi ini bisa digunakan untuk menggambarkan keadaan salat kita. Menurut syariat, salat yang telah memenuhi syarat dan ketentuannya, maka dinyatakan sah dan orang yang telah melakukannya tidak dibebani i’adah (mengulangi) salatnya. Sebatas itu syariat mengatur perilaku manusia. Karena itu, dalam kaitannya   dengan syariat, Nabi menyatakan, nahnu nahkumu bidhawahir wallahu ya’lamu bi sarair, kita berhukum pada yang tampak saja, sementara urusan batiniyah berada di bawah kewenangan Allah. Dengan demikian dapat diketahui bahwa syariat adalah hukum. Dan kajian tentang hukum dalam ilmu pengetahuan Islam disebut fikih.
Ditambah lagi, bahwa di dalam salat, ulama fikih mempersyaratkan tumakninah hanya dengan ukuran lamanya mengucapkan subhanallah. Jika demikian adanya, orang salat sulit dibedakan dengan penari saman, sebuah tarian khas Aceh. Pantaskah kita salat dengan kriteria hukum sah, namun tak menghiraukan tata krama berkomunikasi dengan Allah SWT.

Sidang Jumah yang berbahagia,
Dalam pergaulan masyarakat yang majemuk, contoh penerapan akhlak telah ditunjukkan para ulama yang mumpuni. Sebutan mumpuni ditujukan atas pemberlakuan syariat dengan cara yang santun. Sunan Kudus membimbing masyarakat Kudus untuk tidak menyembelih sapi sebagai hidangan atau perjamuan mereka. Pertimbangannya sebagai bentuk tepo-slira, menjaga perasaan orang Hindu yang dengan susah payah meyakini kesucian sapi. Jangankan menyembelih, sapi dihormati melebihi manusia. Sunan Kudus tidak sedang membuat syariat baru dengan melarang umat Islam menyembelih sapi. Namun beliau berkehendak untuk dapat hidup bersama dengan orang yang tidak seagama sekalipun. Jika kita memaksakan keyakinan sebagai kebenaran mutlak, akibat dari pemaksaan itu berujung pada terciptanya suasana ketegangan. Ketegangan menjalar pada kebencian, kebencian menciptakan perselisihan dan perselisihan menjadikan bibit konflik yang berkepanjangan sebagaimana pembantaian kepada kaum Muslim oleh kelompok Hindu di India. Cara gegabah menghilangkan nyawa orang tidak menjadi inti ajaran agama yang dibawa oleh Rasulullah yang rauf dan rahim.
Sidang Jumah yang berbahagia,
Hidup bersama dengan umat lain dengan tingkat kemajemukan yang tinggi di Indonesia harus dilandasi dengan sudut pandang akhlaq. Di Indonesia terdapat 1.340 suku dan di Afghanistan hanya 7 suku. Meski dengan 7 suku, perang yang berlangsung 40 tahun di antara mereka belum memberi petunjuk untuk segera berakhir. Yang benar bukan syariatisasi, namun akhlakisasi. Dengan cara ini, bakdatun thayyibatun wa rabbun ghafur akan segera tercapai.   
Negara kita, Indonesia bukanlah Negara Thaghut, Negara Indonesia bukan negara kafir. Negara kita, telah melalui perumusan yang canggih dan matang oleh para Ulama. Ulama itu aktor intelektualnya umat Islam. Mereka orang hebat. Mereka tidak menutup mata terhadap dasar dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mereka tidak tidur. Mereka terlibat aktif merumuskan kebahagiaan dunia dan akhirat bagi seluruh bangsa Indonesia. Mereka rela tidak menikmati  hasil jerih payah kemerdekaan.
Kualat banget kalo kita merusak jalinan benang yang telah dirajut dengan indah. Sangat nista tak berani berkorban hingga titik darah penghabisan. Kita tidak mau disebut generasi ecek-ecek. Yang baru bangun tidur dan menyalahkan bangunan para pendiri bangsa.
Kita tidak berada di tempat yang salah. Kita berada di tempat yang benar yakni Indonesia tercinta.
Dirgahayu Kemerdekaan Indonesia yang ke-73, Kerja Kita Prestasi Bangsa.

بارك الله لى ولكم فى القرآن العظيم ونفعنى واياكم بما فيه من الايات والذكر الحكيم وتقبل الله منى ومنكم تلاوته انه هو السميع العليم
الخطبة الثاني
الحَمْدُ ِللهِ الَّذِى تَتِمُّ الصَّالِحَاتِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لا إِلهَ إِلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، اللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ
أَمَّا بَعْدُ فَيَا أَيُّهَا المُؤْمِنُوْنَ اتَّقُوْا اللهَ أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ فَقَدْ فَازَ المُتَّقُوْنَ
قال الله تعالى : إِذَا جَآءَ نَصْرُ اللهِ وَالفَتْحُ وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُوْنَ فِى دِيْنِ اللهِ أَفْوَاجًا فَسَبِّحْ ِبحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا.
إِنَّ اللهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ يَاأَيُّهَااَّلذِيْنَ آمَنُوْ ا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا اللّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وعلى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ فِي العَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
اللّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالمُسْلِمَاتِ وَالمُؤْمِنِيْنَ وَالمُؤْمِنَاتِ الأحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ وَقَاضِيْ الحَاجَاتِ وَأَلِّفْ بَيْنَ قُلُوْبِهِمْ وَأَصْلِحْ ذَاتَ بَيْنِهِمْ وَانْصُرْهُمْ عَلَى عَدُوِّكَ وَعَدُوِّهِمْ، اللّهُمَّ لا تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لايَخَافُكَ وَلا يَرْحَمُنَا، اللّهُمَّ انْصُرِ المُجَاهِدِيْنَ الَّذِيْنَ يُجَاهِدُوْنَ فِي سَبِيْلِكَ فِي كُلِّ زَمَانٍ وَمَكَانٍ، اللّهُمَّ انْصُرْ مَنْ نَصَرَ دِيْنَكَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ دِيْنَكَ، اللّهُمَّ أَعِزَّ الإسْلامَ وَالمُسْلِمِيْنَ وَأَذِّلَّ الشِّرْكَ وَالمُشْرِكِيْنَ وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَانْصُرْ عِبَادَكَ المُؤْمِنِيْنَ، اللَّهُمَّ إِنِّا نعُوذُبِكَ مِنْ البَرَصِ، وَالجُنُونِ، وَالجُذَامِ، وَمِنْ سَيِّءِ الأَسْقَامِ تَحَصَّنَا بِذِى الْعزَّةِ وَالْجَبَرُوْتِ وَاعَتَصَمْنَا بِرَبِّ الْمَلَكُوْتِ وَتَوَكَّلْنَا عَلَى الْحَيِّ الَّذِى لاَ يَمُوْتُ رَبَّنَا لاتُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الوَهَّاب رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَ قِنَاعَذَاب النَّاَر.
عِبَادَ اللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالعَدْلِ وَالإ حْسَانِ وَاِيْتَآءِ ذِيْ القُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالمُنْكَرِ وَالبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ فَاذْكُرُوْا اللهَ العَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْا عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَاسْأَلُوْهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكَمْ وَلَذِكْرُ اللهِ اكْبرَ
 
  

Dimuat Radar Kediri, 10 Agustus 2018



Muslimah Mengikuti Lomba Model Syariah
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Bagaimana hukumnya acara lomba modeling bernuansa muslimah seperti peragaan busana syariah atau tren berhijab misalnya. Bagaimana pula hukum perempuan yang mengikutinya ? (Ayu, Kediri, 081234356xxx).

Jawaban :
Saudari Ayu yang berbahagia, terima kasih atas perhatian dan partisipasinya dalam rubrik Dialog Jumat ini. Mudah-mudahan rubrik ini dapat  menjadi sarana berbagi pengetahuan dan persaudaraan di antara kita. Berkaitan dengan pertanyaan tersebut perlu dijelaskan hal-hal sebagai berikut.
Pertama, bahwa modeling merupakan sejenis kegiatan memeragakan busana untuk tujuan komersial. Karena itu, untuk tujuan komersial ini dibutuhkan model sebagai sarana publikasi dan promosi busana yang ditawarkan. Kemasan peragaan busana digelar secara apik untuk menarik minat konsumen. Titik tekan dalam modelling sebenarnya berada pada busana bukan peraga busana yang acap disebut sebagai model. Namun dalam perkembangannya, arena komersial ini bergeser pada aspek ketrampilan sang peraga busana. Tidak lagi mengusung misi komersial namun menguji dan memilih kemampuan sang model  dalam memeragakan busana. Ajang unjuk ketrampilan peragaan busana tersebut biasa disebut lomba atau yang sejenis.
Kedua, pada dasarnya semua jenis perlombaan berada pada hukum mubah (boleh) dengan ketentuan tidak didapati unsur taruhan. Taruhan yang dimaksud jika perlombaan dijalankan atas dasar kesepakatan untuk saling memberi hadiah di antara dua atau lebih pihak yang terlibat dalam perlombaan. Sebagai contoh peserta A dan B sama-sama memberikan hadiah atas kemenangan salah satu di antara mereka. Namun jika hadiah atau imbalan diberikan oleh salah satu pihak saja, maka hal demikian tidak termasuk dalam kategori taruhan.
Ketiga,  dalam hal tujuan, lomba modelling tidak diselenggarakan atas dasar motif atau tujuan yang tidak dapat dibenarkan oleh prinsip-prinsip hukum Islam seperti memperlihatkan keunggulan fisik, terbukanya aurat, maupun mencari sensasi duniawi (riya’).
Keempat, secara spesifik lomba modelling dengan mengusung konsep syariah tentu menyesuaikan dengan prinsip etika syariah juga. Etika syariah yang dimaksud di sini berkaitan dengan hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam ajang perlombaan. Sebagaimana diketahui dalam hukum Islam bahwa bercampurnya laki-laki dan perempuan dalam satu majlis merupakan hal yang tidak diperkenankan. Istilah bercampur menunjuk pada keadaan terjadinya peluang untuk saling melihat kepada seseorang yang tidak diperkenankan untuk melihatnya. Sementara keadaan sebaliknya tidak disebut sebagai bercampur yakni melihat seseorang yang diperbolehkan untuk melihatnya karena disebabkan hubungan keluarga (mahram). Wallahu a’lam bi al-shawab.
Zayad Abd. Rahman, MHI dosen Hukum Islam Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kediri.

Kamis, 22 Maret 2018

Dimuat Radar Kediri, 9 Maret 2018



Berderma Agar Terpilih Jadi Pemimpin Daerah

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Bagaimana hukumnya berderma dengan misalnya memberi uang atau barang pada orang agar mau memilihnya menjadi wali kota, bupati, atau gubernur. Mohon penjelasan, terima kasih (Ridho, Kediri, 085852877xxx).

Jawaban :
Saudara Ridho yang berbahagia, dapat kita ketahui bersama bahwa pemberian yang dilakukan menjelang pesta politik semisal Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) begitu marak saat ini. Lebih-lebih mendekati hari pelaksanaannnya. Karena itu perlu dijelaskan beberapa hal sebagai berikut.
Pertama, telah terjadi perubahan sosial yang meningkat dan tajam seiring dengan perubahan nilai dalam kehidupan masyarakat dalam berbangsa, bernegara dan beragama. Perubahan tersebut mengakibatkan perubahan penggunaan bahasa dan maknanya sekaligus. Bahasa agama yang sedemikian transendental (luhur) berubah menjadi bahasa yang mengandung kepentingan politik. Sebagai contoh istilah silaturrahmi menggambarkan makna tulus untuk mewujudkan ikatan persaudaran dan berubah makna menjadi salah satu aktifitas politik yang disebut kampanye. Juga aktifitas pemberian dalam bentuk hibah, shadaqah, infaq dan bentuk derma lain berubah maknanya menjadi suap, money politic maupun gratifikasi. Semua perubahan itu terjadi oleh faktor kepentingan dan motif yang melatar belakanginya.
Kedua, penentu aktifitas yang pada dasarnya baik itu terletak pada niat. Istilah niat menggambarkan arah aktifitas yang menjadi tujuan akhirnya. Dalam bidang ibadah, niat menjadi penentu keabsahan. Namun di atas niat terdapat ruang yang lebih besar lagi dan disebut sebagai motif (al-qasdu). Seseorang yang melaksanakan salat dinyatakan keabsahannya dengan memenuhi semua rukunnya dan salah satu rukunnya adalah niat. Namun,  keabsahan yang tampak bersifat formal itu dipengaruhi oleh motif. Niat dapat menggugurkan keabsahan salat. Sementara motif tidak dapat membatalkannya.
Ketiga, motif memengaruhi perbuatan seseorang di tingkat etika (amaliyah batiniyah). Meskipun seseorang telah melaksanakan salat dengan memenuhi segala ketentuannya, secara formal salatnya dinyatakan sah. Dan bahkan dengan motif yang tidak sejalan dengan niatnya. Semisal salat dengan motif menunjukkan kealimannya. Namun, ibadah tersebut dinyatakan tidak memenuhi unsur etika. Tidak pantas, tidak sesuai dengan tempatnya dan tentu tidak memiliki bobot.
Atas gambaran di atas, secara formal sedekah yang diberikan dengan motif  memengaruhi dan menggiring orang untuk menjatuhkan pilihan pada calon tertentu tidak dinyatakan menggugurkan keabsahannya. Sangat berbeda jika sedekah tersebut telah dinyatakan dengan niat untuk mengajak, memerintah orang  menjatuhkan pilihan pada calon tertentu. Keadaan seperti ini dinamakan dengan suap (risywah). Karena istilah niat menunjuk pada formalitas perbuatan hukum.  Jika niatnya tidak benar, maka perbuatannya dianggap melawan hukum. Perbuatan melawan hukum  merupakan asal adanya sanksi.
Jika dilihat dari cara berpikir ini, redaksi yang menyatakan “agar mau memilihnya” merupakan pernyataan yang mengandung makna niat. Dengan demikian, kegiatan berderma sebagaimana pertanyaan di atas dapat dikategorikan sebagai suap. Dan suap dalam konteks hukum Islam dinyatakan sebagai perbuatan haram. Sementara, dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia, Tindak Pidana Suap diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1980. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Zayad Abd. Rahman, MHI dosen Hukum Islam Jurusan Syariah STAIN Kediri.


Minggu, 19 November 2017

Jawaban DialogJumat Radar, 17 Nopember 2017



Buka Warung Ketika Bulan Ramadan

Assalamua’alaikum Wr. Wb. Saya ingin menanyakan tentang mencari rezeki di Bulan Ramadan dengan membuka warung makan di siang hari ketika sedang waktu puasa. Bagaimana hukumnya ?. (Siska, Kediri, 085731139xxx)

Jawaban :
Saudari Siska yang berbahagia, meski saat ini kita tidak berada di bulan Ramadan, bulan dimana umat Muslim diwajibkan melaksanakan puasa dengan segala ketentuan-ketentuannya, tidak ada salahnya pertanyaan tersebut menjadi bahagian dari menuntut ilmu dan media saling mengingatkan di antara kita. Dan telah kita ketahui bersama, bahwa masalah tersebut telah menjadi polemik di kalangan masyarakat. Karenanya, perlu dijelaskan hal-hal sebagai berikut.
Pertama, dalam masyarakat yang homogen dalam pengertian hanya terdapat satu jenis agama yang sama yakni masyarakat Muslim, maka menjual makanan di siang hari pada bulan Ramadan dinyatakan sebagai bentuk kemaksiatan. Tentu dengan argumentasi, jika diduga kuat bahwa pembeli makanan tersebut akan mengkonsumsinya sebagai tanda tidak melaksanakan puasa dengan tanpa alasan. Sementara, puasa merupakan kewajiban individual bagi setiap Muslim yang memenuhi syarat-syarat melaksanakannya. Pada titik ini, membuka warung dalam pengertian memberi kesempatan pada orang lain untuk tidak berpuasa dinyatakan sebagai bentuk ketidaktaatan pada ajaran agama. Dan ketidaktaatan itu dinyatakan sebagai bentuk dosa. Karenanya, membuka warung untuk tujuan di atas tidak dapat dibenarkan.
Kedua, sebagaimana kita ketahui bersama berkaitan dengan merebaknya fenomena penawaran kuliner pada siang hari di bulan Ramadan. Jika hal tersebut dimaksudkan untuk menyediakan aneka olahan atau masakan untuk kepentingan berbuka puasa, tentu penjualan aneka makanan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai bentuk kemaksiatan. Sebaliknya, dikategorikan sebagai jawaz (boleh). Selaras dengan bagian kedua ini, jika penawaran kuliner dimaksud untuk melayani orang-orang yang tidak dalam kategori wajib melakukan puasa seperti musafir, wanita yang menjalani nifas/haid, orang sakit atau anak kecil.  
Ketiga, dalam perspektif kemaslahatan, terutama melihat fenomena penjualan kuliner maupun beroperasinya warung makan di siang hari pada bulan Ramadan dalam masyarakat yang majemuk, penyelesaian masalah ini sepatutnya diserahkan pada kebijakan pemerintah. Diktum kebijakan penguasa ini, dalam kaidah fikih dinyatakan bahwa seluruh kebijakan pemerintah harus senantiasa disesuaikan dengan situasi dan kepentingan masyarakat. Kepentingan masyarakat yang dimaksud menyangkut kebutuhan dan hak bagi setiap warga negara. Untuk kepentingan tersebut perlu dibentuk regulasi yang memadai. Bahwa hak setiap warga harus senantiasa menjadi jaminan negara. Karenanya, lapangan pekerjaan dengan membuka warung dapat disesuaikan dengan situasi dan keadaan masyarakatnya. Sekedar untuk memberikan gambaran situasi ini, warung makan dan yang sejenis dapat diberi ruang terbatas dengan tidak melebihi kapasitasnya mengganggu orang yang berpuasa. Sebaliknya, tidak mengekangnya hingga menghilangkan hak masyarakat untuk mendapatkan pekerjaan. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Zayad Abd. Rahman, MHI, dosen Hukum Islam Jurusan Syariah STAIN Kediri.