Kartini
: Relijiusitas Yang Terlupakan
Oleh : Zayad Abd. Rahman*
Oleh : Zayad Abd. Rahman*
Sepanjang yang saya
ketahui, tulisan-tulisan yang dimuat di beberapa media cetak menampilkan
Kartini sebagai sosok pembaharu, khususnya perjuangan persamaan hak antara
perempuan dengan laki-laki. Dengan latar budaya Timur, pembaharuan yang
dilakukan Kartini tampak menemukan signifikansinya. Dua tipikal budaya itu
berada pada titik disparitas tertinggi - untuk tidak menyebut perbenturan - pada
abad 20. Hal ini ditandai dengan kesadaran membongkar doktrin sosial-keagamaan
yang lusuh di Timur setelah upaya serupa
dilakukan Barat. Al-hasil kolonialisasi yang dilakukan bangsa-bangsa Barat
berhasil menyusupkan pencitraan dan membentuk sudut perbedaan tegas di antara
keduanya. Barat mewakili komunitas kemajuan. Timur masih berjibaku dengan
keterbelakangan. Dua perbedaan tersebut melaju dan menebar dalam benak manusia
Timur hingga saat ini. Karenanya, penggambaran sosok Kartini tidak jauh dari
citra yang diberikan oleh agen-agen perubahan Barat. Citra bahwa Kartini hasil
dari representasi cita-cita dunia Barat.
Upaya yang dilakukan
Kartini tersebut melatarbelakangi komunikasi sejarah yang tidak seimbang. Di
satu pihak, upaya perjuangan persamaan hak itu didaku sebagai hasil jerih payah
Kartini bergumul dengan arus pencerahan yang berasal dari Barat. Di pihak lain,
ada ruang kosong yang secara sengaja tidak diisi dengan informasi sejarah intrapersonal
Kartini dengan dunia nyatanya. Pada babak berikutnya, tidak tercitra sama
sekali sosok Kartini selain informasi yang telah mengendap dalam benak
masyarakat obyek pencitraan. Padahal ada data tidak tertulis menggambarkan
sosok Kartini yang relijius. Relijiusitas Kartini melampaui kekuatan jamannya.
Dan dalam beberapa tingkatan melebihi jargon pencerahan yang disusupkan dalam
lakon kolonialisme. Penerimaan data tertulis dan terlacak telah mengaburkan dan
menguburkan data tak tertulis sebagai bagian dari propaganda model empirisis.
Senyatanya, kaum Timur memegangi budaya tidak tertulis sebagai bagian dari
pertahanan tradisi. Pada tingkatan ini, terjadi usaha penaklukan faktawi dengan
argumentasi tidak adanya data tertulis. Semua hal yang tidak tertulis dengan
sendirinya tidak dapat diterima sebagai data. Hegemoni budaya tertulis mendesak
mundur budaya tak tertulis ke pinggiran kontestasi peradaban. Karenanya,
seluruh bangunan budaya tak tertulis luluhlantak dalam arena pergumulan
masyarakat terjajah.
Sama halnya dengan
cerita nestapa Kartini. Budaya tertulis telah membutakan sejarah. Yang
tertinggal hanya cerita. Cerita Kartini yang hanya melulu menyesali dunia
nyatanya. Seakan budaya Jawa menjadi akar segala ketimpangan. Membelenggu
perempuan, memasung dan memenjarakannya. Sementara, perjumpaan Kartini dengan
Islam juga mengalami nasib yang sama. Sama-sama berada di dunia Timur.
Sama-sama menanggung derita disingkirkan, direduksi, dikoreksi, diseleksi dan
akhirnya dibekukan. Dalam keadaan demikian, para pemerhati masalah perempuan
tidak segan-segan menempatkan Kartini pada deretan atas dan satu-satunya
pelopor emansipasi. Dan tentu, dengan informasi yang telah tereduksi. Sebanyak
tulisan-tulisan mengenai Kartini, -
untuk tidak menyebut semuanya - berbahan informasi dari jenis ini. Yakni
informasi yang telah disesuaikan dengan cita-rasa Barat mulai reposisi
perempuan, proporsi perempuan di parlemen, maupun argumentasi yang menempatkan
Kartini sebagai tokoh pembaharu.
Relijiusitas dan
Kehidupan Nyata
Kuatnya pengaruh
politik informasi kolonial menempatkan Kartini berlawanan dengan kisah
hidupnya. Perjumpaannya dengan Islam tidak memberi banyak informasi bahwa
Kartini merupakan sosok relijius. Adalah Kiyai Sholeh Darat yang didaku sebagai
pintu pembuka kebekuan dan keterkungkungan Kartini mencerna kenyataan yang ada
di sekelilingnya. Dan penyumbat air jernih nalar Kartini tidak lain kebijakan
Pemerintah Hindia Belanda sendiri, yakni larangan mempelajari al-Quran bagi
pemeluknya. Dan ketika jalan mengkaji al-Quran dapat ditemukan, terbukalah
seluruh pintu pencerahan. Ia telah menemukan spirit hidupnya kembali setelah
beberapa waktu terkubur dalam bayang-bayang kolonialisme yang menjeratnya.
Terkuaklah tabir hitam nan gelap. Tersingkaplah cahaya terang dalam gulita.
Kata-kata pinjaman dari al-Quran ini lantas diterjemahkan Armyn Pane menjadi Habis
Gelap Terbitlah Terang terjemahan bahasa Belanda Door Duisternis Tot
Lich. Dalam kenyataannya, kalimat tersebut didaku bersumber dari mitra
korespondesinya, Ny. Abendanon, sebuah nama yang di kemudian hari mengaburkan
peran dan jasa mentor Kartini, yakni Sholeh Darat.
Namun perjuangan tidak
sampai di sini. Kartini harus berjuang meyakinkan pada publik kolonial bahwa pencerahan
dan spirit Kitab Suci yang melahirkan keberaniannya. Keberanian untuk menggugat
bahwa pencerahan itu tidak datang dari sistem kolonial. Namun berasal dari
Wahyu Ilahi. Karena Tuhan tak mungkin membuat dunia ini gelap. Lantas
diciptakan terang dengan matahari. Bukan dicerahkan dengan kolonialisme
sebagaimana banyak dipahami masyarakat hari ini.
Tak banyak waktu ia menjelaskan ihwal
kesimpangsiuran kebenaran sejarahnya. Sementara, hiruk-pikuk perjuangan menuju
kemerdekaan telah nyata terdengar. Perhatian dan kekuatan kebangsaan diarahkan
mendapatkan kebebasan. Bukan tidak mungkin identitas Kartini dimainkan oleh
para penggagas konsep kebangsaan. Kaum nasionalis-sekuler jelas sangat
berkepentingan untuk meredam gelora golongan nasionalis-Islam. Sosok Kartini
yang relijius menjadi bahan baku utama melegitimasi model negara Islam. Konsep
kebahagiaan dan kesejahteraan jelas tertera dalam pikiran-pikiran Kartini. Dan
jika muara kebahagiaan itu bersumber dari Kitab Sucinya, tentu kekuatan
menjadikan negara Islam semakin kuat. Karenanya, politik informasi menjadi
instrumen strategis mereduksi sejarah Kartini menjadi sekedar cerita belaka.
Kalau demikian adanya, perlukah buku putih Kartini?
Penulis adalah pengajar di STAIN Kediri dan kandidat Doktor UIN Sunan Ampel Surabaya.