Rabu, 15 Juni 2016

Dimuat di Radar Kediri Selasa, 14 Juni 2016



PEMBEBASAN BUDAYA BADAN KE BUDAYA RUH
Oleh : Zayad Abd. Rahman*



Sejatinya manusia diciptakan dari alam ruh yang ditiupkan pada jasad kasar. Karenanya, seluruh bangunan hidupnya diwarnai oleh kehidupan jasad serba-tergantung. Padahal alam ruh tak menyisakan sifat ini dalam setiap aktifitasnya. Alam jasad berkibar menguasai seluruh bangunan alam materi. Dan manusia tanpa disadari memahami alam jasad sebagai alam kenyataan. Kekuatan dan kemampuan manusia diabdikan bagi kepuasan jasad semata. Sementara dalam dirinya, masih dan terpendam alam ruh yang abadi. Karena kediriannya terantuk alam jasad yang serba mengungkung itu, alam ruh tak banyak memberi peran penting dan mendasar dalam hidupnya. Kesadaran ini yang menjadi cikal bakal materialisme di kemudian hari. Sebuah simbol yang menafikan keberadaan hakikat kemanusiaannya. Pada tingkat yang lebih menegangkan, materialisme tak memercayai Tuhan ada. Karena Tuhan memang tidak berada pada matra jasad. Sebaliknya, matra keabadian yang telah diciptakan pada manusia sebanding dengan matra keabadianNya. Inilah titik temu manusia dengan PenciptaNya. Pertemuan yang bermuasal dari natur yang sama. Keabadian.
Dalam seluruh ruang kehidupan manusia senantiasa terbersit kerinduan mendalam terhadap keberadaan dirinya sendiri. Karena dirinya memang berwatak ketuhanan. Watak ketuhanan meneguhkan sifat keabadian. Meski manusia berada di alam materialisme, alam yang memaksanya mengingkari keberadaannya sendiri. Budaya badan dalam keberlangsungannya selalu rentan dengan watak asal manusia. Karena manusia dalam hakikatnya berasal dari budaya ruh. Tuhan yang Maha Tahu memberi karunia agung dengan puasa pada hari ini. Hari yang akan terus bergulir dengan dahsyatnya. Melawan apa saja yang ada di depannya. Namun tidak dengan puasa. Karena puasa tak akan pernah dapat dilawan oleh siapapun. Karena puasa membimbing manusia merapat ke alam ruh. Dan alam ruh adalah alam keabadian. Sementara waktu hanya berhenti melalap matra jasad kasar semata. Waktu tak dapat meluluhlantakkan sang puasa. Nyatanya manusia berujar atas pengharapannya agar Ramadan ini sepanjang masa. Karena, memang puasa menjelma menjadi jembatan emas menuju kepada keabadian.
Puasa yang telah dilakukan manusia sejatinya meneguhkan kekuatan budaya ruh. Puasa menjadi watak dasar manusia telah dilakukan secara lintas agama, keyakinan maupun kepercayaan. Semuanya berjalan mengikuti satu tujuan pasti. Menuju ruh yang abadi. Sehingga tersingkap rahasia-rahasia alam yang terhalang oleh budaya badan. Pada saat ini, Tuhan menyatakan kerinduanNya bersua dengan para pemuja puasa. Dan kerinduan itu direstui. Karenanya, orang yang berpuasa kelak mendapat anugerah terbesar dalam karier hidupnya. Bertemu  dengan Rabnya. Sementara ibadah yang lain tak memerikan gambaran serupa. Dengan demikian tak dapat disangkal bahwa untuk menemukan Tuhan dan kerinduanNya, manusia harus merapat dan mendekat kepada budaya ruh. Sebaliknya, mengurangi dan menjauh dari budaya badan. Postulasi demikian mendapat kekuatan pembenar secara nalar maupun dogma.
Imam Ghazali meneguhkan pengembaraan nalar sofistiknya mengulas budaya ruh ini. Baginya, manusia secara niscaya tak dapat bertemu Tuhan jika masih terbalut budaya badan. Tamsil manusia dalam tingkatan ini digambarkan seperti orang yang terlelap dalam mimpi di tidurnya. Karena itu, Tuhan membuka pintu lebar menemuiNya setelah watak badannya telah tiada. Puncak memecat budaya badan itu adalah kematian. Dengan kematian berakhirlah budaya badan. Sementara budaya ruh akan dimulai. Senyatanya, setelah kematian, manusia memasuki babak baru dalam hidupnya. Hidup dengan budaya ruh. Dan hakekat hidupnya akan dirasakan tanpa himpitan waktu. Karena, waktu hanya berada di alam badan. Pengembaraan nalar al-Ghazali memberi petunjuk keberadaan puasa. Watak ketuhanan harus didekati dengan budaya ruh. Semakin manusia memuja budaya badan, saat itu manusia semakin tertutup melihat Tuhan. Semakin terhalang menemui Tuhan. Semakin jauh berjumpa dengan Tuhan. Karena, tanpa disadari tuhan yang ada masih sebatas tuhan badan.  
Pada saat ini, menggejala kekuatan budaya badan baru. Meski, manusia modern telah membuktikan kedigdayaan puasa. Namun tanpa disadari, budaya badan itu tak berujud memanjakan badan dengan makanan lezat, berlibur ke tempat hening, mempercantik diri dalam kapsul panti pijat maupun menenggelamkan diri dalam bilik gadget. Melainkan membangkitkan materialisme gaya baru. Meski dengan balutan ruhani. Gejala ini dapat berupa berjejalnya keinginan masyarakat melaksanakan ibadah umrah pada bulan Ramadan. Apalagi keinginan itu dipicu oleh hasrat dan kekuasaan ekonomi kaum mapan. Ditambah permainan kaum kapitalis memanfaatkan situasi permintaan pasar umrah yang semakin hari meningkat. Tentu, dipicu oleh antrian panjang daftar peminat haji dari tahun ke tahun. Fenomena di atas bukannya tidak ada hubungannya dengan hiruk-pikuk puasa badan. Karena, pekerjaan ruhaniah akan sia-sia jika penempatannya tidak berada pada posisi yang tepat. Al-hasil budaya badan tak beranjak sedikitpun untuk bergerak pada budaya ruh. Karenanya Tuhanpun tak pernah merindukan orang-orang seperti itu. Dan jika puasa hanya berhenti pada budaya badan, puasa tak ubahnya seperti apa yang disabdakan oleh baginda Rasulullah SAW. Yakni seperti orang pailit. Berusaha sekuat tenaga, dan harus menerima kerugian.
Penulis adalah Pengasuh Pengajian Ngaji Tuwo, Banyakan Kediri dan Pengajar di STAIN Kediri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar