PEMBEBASAN
BUDAYA BADAN KE BUDAYA RUH
Oleh : Zayad
Abd. Rahman*
Sejatinya manusia diciptakan dari alam ruh yang ditiupkan pada
jasad kasar. Karenanya, seluruh bangunan hidupnya diwarnai oleh kehidupan jasad
serba-tergantung. Padahal alam ruh tak menyisakan sifat ini dalam setiap
aktifitasnya. Alam jasad berkibar menguasai seluruh bangunan alam materi. Dan
manusia tanpa disadari memahami alam jasad sebagai alam kenyataan. Kekuatan dan
kemampuan manusia diabdikan bagi kepuasan jasad semata. Sementara dalam
dirinya, masih dan terpendam alam ruh yang abadi. Karena kediriannya terantuk
alam jasad yang serba mengungkung itu, alam ruh tak banyak memberi peran
penting dan mendasar dalam hidupnya. Kesadaran ini yang menjadi cikal bakal
materialisme di kemudian hari. Sebuah simbol yang menafikan keberadaan hakikat
kemanusiaannya. Pada tingkat yang lebih menegangkan, materialisme tak
memercayai Tuhan ada. Karena Tuhan memang tidak berada pada matra jasad. Sebaliknya,
matra keabadian yang telah diciptakan pada manusia sebanding dengan matra
keabadianNya. Inilah titik temu manusia dengan PenciptaNya. Pertemuan yang
bermuasal dari natur yang sama. Keabadian.
Dalam seluruh ruang kehidupan manusia senantiasa terbersit
kerinduan mendalam terhadap keberadaan dirinya sendiri. Karena dirinya memang
berwatak ketuhanan. Watak ketuhanan meneguhkan sifat keabadian. Meski manusia
berada di alam materialisme, alam yang memaksanya mengingkari keberadaannya
sendiri. Budaya badan dalam keberlangsungannya selalu rentan dengan watak asal
manusia. Karena manusia dalam hakikatnya berasal dari budaya ruh. Tuhan yang
Maha Tahu memberi karunia agung dengan puasa pada hari ini. Hari yang akan
terus bergulir dengan dahsyatnya. Melawan apa saja yang ada di depannya. Namun
tidak dengan puasa. Karena puasa tak akan pernah dapat dilawan oleh siapapun.
Karena puasa membimbing manusia merapat ke alam ruh. Dan alam ruh adalah alam
keabadian. Sementara waktu hanya berhenti melalap matra jasad kasar semata.
Waktu tak dapat meluluhlantakkan sang puasa. Nyatanya manusia berujar atas
pengharapannya agar Ramadan ini sepanjang masa. Karena, memang puasa menjelma
menjadi jembatan emas menuju kepada keabadian.
Puasa yang telah dilakukan manusia sejatinya meneguhkan kekuatan
budaya ruh. Puasa menjadi watak dasar manusia telah dilakukan secara lintas
agama, keyakinan maupun kepercayaan. Semuanya berjalan mengikuti satu tujuan
pasti. Menuju ruh yang abadi. Sehingga tersingkap rahasia-rahasia alam yang
terhalang oleh budaya badan. Pada saat ini, Tuhan menyatakan kerinduanNya
bersua dengan para pemuja puasa. Dan kerinduan itu direstui. Karenanya, orang
yang berpuasa kelak mendapat anugerah terbesar dalam karier hidupnya. Bertemu dengan Rabnya. Sementara ibadah yang lain tak
memerikan gambaran serupa. Dengan demikian tak dapat disangkal bahwa untuk menemukan
Tuhan dan kerinduanNya, manusia harus merapat dan mendekat kepada budaya ruh.
Sebaliknya, mengurangi dan menjauh dari budaya badan. Postulasi demikian
mendapat kekuatan pembenar secara nalar maupun dogma.
Imam Ghazali meneguhkan pengembaraan nalar sofistiknya mengulas
budaya ruh ini. Baginya, manusia secara niscaya tak dapat bertemu Tuhan jika
masih terbalut budaya badan. Tamsil manusia dalam tingkatan ini digambarkan
seperti orang yang terlelap dalam mimpi di tidurnya. Karena itu, Tuhan membuka
pintu lebar menemuiNya setelah watak badannya telah tiada. Puncak memecat
budaya badan itu adalah kematian. Dengan kematian berakhirlah budaya badan.
Sementara budaya ruh akan dimulai. Senyatanya, setelah kematian, manusia
memasuki babak baru dalam hidupnya. Hidup dengan budaya ruh. Dan hakekat
hidupnya akan dirasakan tanpa himpitan waktu. Karena, waktu hanya berada di
alam badan. Pengembaraan nalar al-Ghazali memberi petunjuk keberadaan puasa.
Watak ketuhanan harus didekati dengan budaya ruh. Semakin manusia memuja budaya
badan, saat itu manusia semakin tertutup melihat Tuhan. Semakin terhalang
menemui Tuhan. Semakin jauh berjumpa dengan Tuhan. Karena, tanpa disadari tuhan
yang ada masih sebatas tuhan badan.
Pada saat ini, menggejala kekuatan budaya badan baru. Meski,
manusia modern telah membuktikan kedigdayaan puasa. Namun tanpa disadari,
budaya badan itu tak berujud memanjakan badan dengan makanan lezat, berlibur ke
tempat hening, mempercantik diri dalam kapsul panti pijat maupun menenggelamkan
diri dalam bilik gadget. Melainkan membangkitkan materialisme gaya baru. Meski
dengan balutan ruhani. Gejala ini dapat berupa berjejalnya keinginan masyarakat
melaksanakan ibadah umrah pada bulan Ramadan. Apalagi keinginan itu dipicu oleh
hasrat dan kekuasaan ekonomi kaum mapan. Ditambah permainan kaum kapitalis
memanfaatkan situasi permintaan pasar umrah yang semakin hari meningkat. Tentu,
dipicu oleh antrian panjang daftar peminat haji dari tahun ke tahun. Fenomena
di atas bukannya tidak ada hubungannya dengan hiruk-pikuk puasa badan. Karena,
pekerjaan ruhaniah akan sia-sia jika penempatannya tidak berada pada posisi
yang tepat. Al-hasil budaya badan tak beranjak sedikitpun untuk bergerak pada
budaya ruh. Karenanya Tuhanpun tak pernah merindukan orang-orang seperti itu.
Dan jika puasa hanya berhenti pada budaya badan, puasa tak ubahnya seperti apa
yang disabdakan oleh baginda Rasulullah SAW. Yakni seperti orang pailit.
Berusaha sekuat tenaga, dan harus menerima kerugian.
Penulis
adalah Pengasuh Pengajian Ngaji Tuwo, Banyakan Kediri dan Pengajar di STAIN
Kediri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar