Sabtu, 05 Juli 2014

Dialog Ramadan, 4 Juli 2014



Bagaimana jika Jadwal Imsakiyah Berbeda
Assalamualaikum Wr. Wb.
Menjelang Ramadan ini saya dapat kalender dan brosur yang sama-sama memuat jadwal imsakiyah untuk Kota Kediri dan sekitarnya. Namun keduanya terdapat selisih waktu lima menit. Sebagai contoh, tanggal 29 Juni imsak jam 4.18 pada brosur jam 4.13. Mana yang harus saya ikuti?. (P. Purnomo, Wilis Indah, Kediri, 081232012xxx).
 
Wasalamu’alaikum Wr. wb.
Berkaitan dengan pertanyaan Bapak Purnomo perlu kami jelaskan hal-hal sebagai berikut. Pertama, permasalahan di sekitar urgensi imsa>k. Kedua, kapan seseorang harus menahan makan, minum dan hal-hal yang membatalkan puasa. Ketiga, kapan batas awal waktu shalat Subuh. Ketiga hal tersebut merupakan unsur penting dalam menentukan sikap dan perilaku berkaitan dengan imsa>k.
Dari ketiga permasalahan penting tersebut saya justru mengawali dari permasalahan yang ketiga yakni batas awal waktu subuh. Dalam kaitannya seseorang memulai puasa, batas yang digunakan adalah awal waktu shalat subuh dan bukan didasarkan waktu dimulainya imsak. Ketentuan ini sebenarnya telah berlaku sebagaimana dipahami dari literatur-literatur fikih. Imsak merupakan salah satu bentuk kehati-hatian dalam mengetahui batas dimulainya seseorang berpuasa. Namun, imsa>k bukanlah batas seseorang memulai puasanya. Sebagian ulama’ memberi penegasan atas sikap kehati-hatian dengan hukum wajib. Karena dalam beribadah menghendaki sikap kehati-hatian.
Kalau demikian permasalahannya kapan kehati-hatian dalam memulai puasa itu dilakukan. Al-Hafiz Ibn Hajar al-Asqalani mengutip hadis Bukhari dalam kitab Fath al-Bari menyatakan bahwa  Zaid Bin Sabit berkata, “Kami makan sahur bersama Rasulullah, Lantas Beliau berdiri melakukan salat. Maka Anas bertanya kepada Zaid,”Berapa lama jarak antara sahur dan dikumandangkannya azan (pertanda masuk Subuh)?. Lalu Zaid menjawab,”Kira-kira (membaca) 50 ayat”. Lamanya waktu Nabi membaca 50 ayat merupakan indikasi sikap kehati-hatian yang menjadi cika-bakal konsep imsak di kemudian hari. Menurut perkiraan, membaca 50 ayat itu memerlukan waktu kurang lebih 10 menit dengan hitungan waktu sekarang.
Demikian perbedaan waktu yang digunakan pada masa Nabi dengan masa kini. Masuknya waktu salat maupun puasa didasarkan atas gejala-gejala alam semisal warna mendung/mega, cahaya maupun kedudukan bulan dan matahari. Sebagai akibatnya, terjadi perbedaan penghitungan waktu salat maupun puasa ketika penghitungan waktu salat maupun puasa melibatkan ilmu astronomi. Pergeseran tentang cara penghitungan waktu terjadi dan tidak lagi menggunakan gejala alam sebagai parameter utama. Sementara perkembangan dan kemajuan astronomi sebagai bagian dari cara menghitung waktu ibadah tersebut secara niscaya melahirkan banyak teori yang berbeda. Dari sinilah, awal perbedaan itu dimulai.
Bila dikaitkan dengan perbedaaan imsak, maka yamg menjadi titik tekan atas perbedaan itu dirunut dari perbedaan menetapkan masuknya waktu Subuh dalam konteks geografi Indonesia. Setidaknya ada tiga  pendapat tentang awal waktu salat Subuh. Pertama, waktu Subuh dimulai saat matahari mencapai 20° di bawah ufuk. Pendapat ini dipegangi Sa’aduddin Jambek. Beliau mendasarkan pendapatnya pada surat al-Thu>r ayat 49 yang artinya,”Dan bertasbihlah kepadaNya saat di malam hari dan di waktu terbenamnya bintang-bintang”. Dari ayat ini, beliau memahami bahwa waktu subuh dimulai ketika tampak fajar sadiq (the true dawn) di atas ufuk sebelah timur dan berakhir dengan terbitnya matahari. Kedua, waktu subuh dimulai saat matahari mencapai 19° di bawah ufuk. Pendapat ini dipegangi Tabataba’i, seorang ulama asal Iran. Dan pendapat yang ketiga waktu Subuh dimulai saat matahari berada pada 18° di bawah ufuk.
Dengan demikian, melalui penghitungan yang berbeda niscaya menghasilkan hitungan yang berbeda pula. Problem ini secara akademik dianggap sebagai hal yang niscaya. Jika dikaitkan dengan pertanyaan Bapak Purnomo, didapati perbedaan jadwal imsa>k antara lembaga satu dengan yang lain dinilai sebagai hal yang wajar.  Namun lebih penting dari sekedar mengetahui perbedaan itu adalah menyikapi perbedaan. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa awal puasa kita juga diwarnai perbedaan. Sikap yang perlu dan penting dilakukan adalah menjaga konsistensi untuk menentukan pilihan. Tentu bagi orang awam, perbedaan tersebut terasa membingungkan. Bagi sebagian orang, kepentingan yang menguntungkan akan menjadi pilihan. Bagi mereka yang beorientasi keuntungan (profit oriented), maka berpuasa pada hari yang akhir dan berhari raya pada hari yang lebih awal akan menjadi pilihan. Sama halnya dengan perbedaan imsak di atas, kebenaran penghitungan imsak berada pada ruang relatifitas. Karenanya, yang diperlukan adalah sikap konsistensi dalam menerapkan jadwal tersebut agar terhindar dari sikap mencari keuntungan semata. Semoga dapat dipahami. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Zayad Abd. Rahman, MHI. Dosen Syariah STAIN Kediri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar