Bagaimana jika Jadwal Imsakiyah Berbeda
Assalamualaikum Wr. Wb.
Menjelang
Ramadan ini saya dapat kalender dan brosur yang sama-sama memuat jadwal imsakiyah untuk Kota Kediri dan
sekitarnya. Namun keduanya terdapat selisih waktu lima menit. Sebagai contoh, tanggal 29 Juni imsak jam
4.18 pada brosur jam 4.13. Mana yang harus saya ikuti?. (P. Purnomo, Wilis Indah,
Kediri, 081232012xxx).
Wasalamu’alaikum
Wr. wb.
Berkaitan
dengan pertanyaan Bapak Purnomo perlu kami jelaskan hal-hal sebagai berikut. Pertama, permasalahan di sekitar urgensi
imsa>k. Kedua, kapan seseorang harus menahan makan, minum dan hal-hal yang
membatalkan puasa. Ketiga, kapan
batas awal waktu shalat Subuh. Ketiga
hal tersebut merupakan unsur penting dalam menentukan sikap dan perilaku berkaitan
dengan imsa>k.
Dari
ketiga permasalahan penting tersebut saya justru mengawali dari permasalahan
yang ketiga yakni batas awal waktu subuh. Dalam kaitannya seseorang memulai
puasa, batas yang digunakan adalah awal waktu shalat subuh dan bukan didasarkan
waktu dimulainya imsak. Ketentuan ini
sebenarnya telah berlaku sebagaimana dipahami dari literatur-literatur fikih. Imsak
merupakan salah satu bentuk kehati-hatian dalam mengetahui batas dimulainya
seseorang berpuasa. Namun, imsa>k
bukanlah batas seseorang memulai puasanya. Sebagian ulama’ memberi penegasan
atas sikap kehati-hatian dengan hukum wajib. Karena dalam beribadah menghendaki
sikap kehati-hatian.
Kalau
demikian permasalahannya kapan kehati-hatian dalam memulai puasa itu dilakukan.
Al-Hafiz Ibn Hajar al-Asqalani mengutip hadis Bukhari dalam kitab Fath al-Bari menyatakan bahwa Zaid Bin Sabit berkata, “Kami makan sahur
bersama Rasulullah, Lantas Beliau berdiri melakukan salat. Maka Anas bertanya
kepada Zaid,”Berapa lama jarak antara sahur dan dikumandangkannya azan
(pertanda masuk Subuh)?. Lalu Zaid menjawab,”Kira-kira (membaca) 50 ayat”. Lamanya
waktu Nabi membaca 50 ayat merupakan indikasi sikap kehati-hatian yang menjadi
cika-bakal konsep imsak di kemudian
hari. Menurut perkiraan, membaca 50 ayat itu memerlukan waktu kurang lebih 10
menit dengan hitungan waktu sekarang.
Demikian
perbedaan waktu yang digunakan pada masa Nabi dengan masa kini. Masuknya waktu
salat maupun puasa didasarkan atas gejala-gejala alam semisal warna
mendung/mega, cahaya maupun kedudukan bulan dan matahari. Sebagai akibatnya,
terjadi perbedaan penghitungan waktu salat maupun puasa ketika penghitungan
waktu salat maupun puasa melibatkan ilmu astronomi. Pergeseran tentang cara
penghitungan waktu terjadi dan tidak lagi menggunakan gejala alam sebagai
parameter utama. Sementara perkembangan dan kemajuan astronomi sebagai bagian
dari cara menghitung waktu ibadah tersebut secara niscaya melahirkan banyak
teori yang berbeda. Dari sinilah, awal perbedaan itu dimulai.
Bila
dikaitkan dengan perbedaaan imsak,
maka yamg menjadi titik tekan atas perbedaan itu dirunut dari perbedaan
menetapkan masuknya waktu Subuh dalam konteks geografi Indonesia. Setidaknya
ada tiga pendapat tentang awal waktu
salat Subuh. Pertama, waktu Subuh
dimulai saat matahari mencapai 20° di bawah ufuk. Pendapat ini dipegangi Sa’aduddin
Jambek. Beliau mendasarkan pendapatnya pada surat al-Thu>r ayat 49 yang
artinya,”Dan bertasbihlah kepadaNya saat di malam hari dan di waktu terbenamnya
bintang-bintang”. Dari ayat ini, beliau memahami bahwa waktu subuh dimulai
ketika tampak fajar sadiq (the true dawn) di atas ufuk sebelah
timur dan berakhir dengan terbitnya matahari. Kedua, waktu subuh dimulai saat matahari mencapai 19° di bawah
ufuk. Pendapat ini dipegangi Tabataba’i, seorang ulama asal Iran. Dan pendapat
yang ketiga waktu Subuh dimulai saat matahari berada pada 18° di bawah ufuk.
Dengan
demikian, melalui penghitungan yang berbeda niscaya menghasilkan hitungan yang
berbeda pula. Problem ini secara akademik dianggap sebagai hal yang niscaya.
Jika dikaitkan dengan pertanyaan Bapak Purnomo, didapati perbedaan jadwal imsa>k antara lembaga satu dengan
yang lain dinilai sebagai hal yang wajar. Namun lebih penting dari sekedar mengetahui
perbedaan itu adalah menyikapi perbedaan. Sebagaimana kita ketahui bersama
bahwa awal puasa kita juga diwarnai perbedaan. Sikap yang perlu dan penting
dilakukan adalah menjaga konsistensi untuk menentukan pilihan. Tentu bagi orang
awam, perbedaan tersebut terasa membingungkan. Bagi sebagian orang, kepentingan
yang menguntungkan akan menjadi pilihan. Bagi mereka yang beorientasi
keuntungan (profit oriented), maka
berpuasa pada hari yang akhir dan berhari raya pada hari yang lebih awal akan
menjadi pilihan. Sama halnya dengan perbedaan imsak di atas, kebenaran penghitungan imsak berada pada ruang relatifitas. Karenanya, yang diperlukan
adalah sikap konsistensi dalam menerapkan jadwal tersebut agar terhindar dari
sikap mencari keuntungan semata. Semoga dapat dipahami. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Zayad Abd. Rahman, MHI. Dosen Syariah STAIN Kediri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar