Jumat, 14 Maret 2014

Sosiologi Hukum Sebagai Kritik



Review Buku
POSISI PEREMPUAN DALAM HUKUM ISLAM DI INDONESIA
(Sosiologi Hukum Sebagai Kritik)

1.  Pendahuluan
Syahdan, perubahan hukum Islam yang terjadi di Indonesia memberi petunjuk adanya internalisasi nilai-nilai hukum Islam ke dalam hukum nasional. Meski diakui bahwa identitas hukum Islam tetap dipertahankan berhadapan dengan hukum adat dan hukum perdata. Kenyataan ini dalam perkembangan selanjutnya mencitrakan sebuah akulturasi budaya hukum yang lebih bersifat keindonesiaan sejalan dengan tumbuh-kembangnya penerimaan hukum Islam sebagai bahan baku hukum nasional. Pun demikian, beberapa persoalan di sekitar hubungan antara Islam dan negara tetap menjadi perdebatan yang krusial hingga hari ini. Tidak saja mewakili kesadaran baru tentang hubungan dua entitas ini dalam ruang historisi modern. Karenanya, problem hubungan negara dan agama dalam Islam menempati tempat yang mengesankan sepanjang sejarah.
Namun demikian resepsi hukum Islam ke dalam hukum negara dinyatakan dalam sejarahnya berjalan secara linier tanpa banyak menghadapi hambatan. Kekuatan dan kewibawaannya sebagai sumber hukum materiil dinyatakan sebagai paling siap diterapkan dalam masyarakat hukum. Pertanyaan selanjutnya, sejauhmana peran negara melahirkan hukum yang baru itu?. Tentu pada tingkat implementasi, negara mempunyai peran menentukan sebagai aktor tunggal memuluskan keberadaan hukum Islam di Indonesia. Dan kecenderungan ideologis hampir-hampir mewarnai hukum Islam dijadikan sebagai sumber hukum nasional itu. Barangkali inilah menjadi titik pijak yang mengkawatirkan bagi para penggagas modern mengenai konspirasi negara dan agama menyisakan kisah pilu di masa lalu. Meski demikian pembahasan tentang hubungan agama dan negara ini tidak dibicarakan dalam ulasan ini. Namun setidaknya, kajian tentang hubungan antara agama dan negara dapat dijadikan sebagai kesadaran awal perlunya mengkait padukan di antara keduanya.
Sementara lebih penting dari sekedar mebicarakan dua entitas di atas, ruang sosial dimana hukum Islam diberlakukan menjadi penting untuk dapat dikaji tentang kekuatannya secara praktis sesuai dengan tuntuan masyarakat hukum. Buku dengan judul Posisi Perempuan dalam Hukum Islam di Indonesia menjadi literatur penting menyuguhkan urgensi sosiologi menempatkan posisi perempuan dalam masyarakat yang sedang berubah itu. Di satu pihak perempuan dituntut dapat menjadi pembaharu bagi dirinya, sementara di pihak lain, budaya hukum telah dikonstruksi secara konservatif menegasikan tuntutan pembaharuan yang progresif. Latar sosial masyarakat modern yang positivistik tentu akan membangunkan kesadaran baru vis a vis dengan pemahaman hukum tradisional yang masih mengakar pada kesadaran sebagian masyarakat Muslim Indonesia. Dan bagaimanakah posisi perempuan harus memasuki ruang tarik-menarik dalam posisi diametral antara tradisional dan modern tersebut. Karenanya, pembahasan dan analisis selanjutnya adalah menempatkan sosiologi hukum sebagai instrumen kritik pembaharuan dalam hukum Islam yang berlaku di Indonesia.
       
2.  Pembahasan
a.      Identitas Buku
Judul Buku       : Posisi Perempuan Dalam Hukum Islam di Indonesia
Penyusun          : Ratna Batara Munti
Penerbit            : LBH APIK Jakarta Tahun 2005
Tebal                 : 167 halaman + xx

b.      Isi Buku
Buku bertajuk Posisi Perempuan dalam Hukum Islam di Indonesia merupakan laporan penelitian yang dilakukan LBH APIK Jakarta bekerja sama dengan Sisters in Islam Malaysia dan Ford Fundation pada tahun 2000 dan juga pernah dipresentasikan di Kuala Lumpur pada tanggal 8-10 Juni 2001. Demi membagi pemahaman mengenai hasil yang diperoleh dari penelitian ini, maka LBH APIK mempublikasikan hasil penelitiannya dalam bentuk buku agar diketahui pihak lain secara luas. Buku ini hanya terdiri dari dua bab. Bab pertama mengkaji perjalanan sistem hukum Indonesia. Dalam bagian ini, peran perempuan menjadi sentrum pembicaraan. Posisi perempuan dalam penyusunan perundang-undangan di Indonesia dilaporkan dalam sketsa perjalanan panjang beberapa sub bahasan. Pertama, mengkritisi peranan perempuan dalam penyusunan ordonansi perkawinan pada masa kolonial Belanda. Tepatnya pada tahun 1937, pemerintah Belanda berupaya membentuk Undang-undang Perkawinan yang diawali dengan disebarkannya rancangan ordonansi tentang perkawinan tercatat. Isi pokok ordonansi tersebut adalah asas monogami dalam perkawinan, putusnya perkawinan hanya karena salah satu pihak meninggal dunia atau salah satu pihak tidak berada di tempat tinggalnya selama dua tahun tanpa ada kabar berita dan perkawinan orang-orang pribumi tersebut mempunyai akibat hukum yang sama dengan perkawinan yang tercatat pada pencatatan sipil.
Kaum perempuan merespon rancangan ordonansi ini terpecah menjadi dua kelompok yakni kelompok yang pro dan kontra. Pihak yang pro adalah organisasi perempuan Poetri Boedi Sedjati dan Serikat Kaoem Iboe. Hingga akhir masa kolonial ordonansi ini tidak kunjung terwujud menjadi undang-undang.[1] Kedua, meneliti peran perempuan dalam keterlibatannya dengan penyusunan undang-undang perkawinan. Penyusunan RUU Perkawinan dengan asas poligami dapat diselesaikan pada tahun 1954 dan diajukan pada kabinet pada tahun 1958. Di pihak lain, Partai Nasional Indonesia melalui utusannya mengusulkan RUU Perkawinan dengan asas monogami. Namun perjuangan kaum perempuan tersebut kandas di tengah jalan. Namun demikian, pada tahun 1957 pemerintah meberlakukan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah untuk daerah luar Jawa dan Madura. Hal ini dimaksudkan sebagai akomodasi pemerintah terhadap kepentingan orang Islam dalam menyelesaikan perkaranya di bidang nikah, talak dan rujuk.
Ketiga, mengkaji peran dan posisi perempuan dalam Undang-undang Perkawinan pada masa orde baru.  Pemerintah orde baru memulai babak baru dengan menugaskan kepada Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN) menyusun RUU Perkawinan yang bersifat Nasional. Namun penyusunan RUU tersebut tidak berjalan sesuai dengan harapan pemerintah. PPP mewakili kelompok agama menyatakan keberatannya atas RUU tersebut. Sementara dalam penyusunan RUU tersebut baik pihak pemerintah yang didukung oleh Golkar dan PDI dan PPP tidak pernah memperjuangkan kepentingan perempuan. Kepentingan perempuan yang dimaksud berkisar di seputar asas perkawinan yang menggunakan asas poligami. Selebihnya, RUU tersebut meneguhkan suprioritas peran laki-laki atas perempuan. Meski demikian, RUU tersebut berhasil disetujui menjadi Undang-undang Nomor 1 Tahun 1973 yang disahkan pada tanggal 2 Januari 1974. Keempat, pengkajian diarahkan pada momen penting tersusunnya Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dengan asumsi telah berdirinya Pengadilan Agama di luar Jawa dan Madura dirasa perlu disusun standar baku bagi para hakim dalam memutus dan menyelesaikan perkara perdata orang Islam di Indonesia. Namun, kepentingan politis mewarnai penyusunan KHI.[2] Berdasarkan penurunan perolehan suara Golkar, pemerintah merasa perlu melakukan politik akomodasi untuk meraih dukungan suara dari kelompok Islam. Sementara di lain pihak perolehan suara PPP mengalami peningkatan pada tahun 1982. Jika KHI dinyatakan sebagai hukum materiil maka perlu adanya instrumen hukum formil sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Peradilan Agama Nomor 7 Tahun 1989 yang disahkan dan diberlakukan pada tanggal 29 Desember 1989.
Kenyataannya, yang dijadikan fokus dalam penelitian ini adalah minimnya perhatian pemerintah untuk melibatkan pihak perempuan dalam penyusunan KHI. Hal ini tentu menjadi pertanyaan mendasar terhadap kinerja pemerintah dalam menyerap aspirasi perempuan. Sementara dalam pasal-pasalnya KHI masih didominasi oleh doktrin hukum Islam klasik tentang poligami dan masih jauh dari harapan perempuan mengenai nilai kesetaraan dan keadilan. Dan dalam bagian ini, reformasi hukum ditawarkan untuk hendak mencari formulasi hukum yang mengacu pada prinsip kesetaraan, keadilan dan menjunjung tinggi martabat perempuan.
Pada bab dua, tercantum beberapa analisis terhadap ketentuan-ketentuan hukum sejalan dengan perhatian pada masalah peran dan posisi perempuan dalam masalah keluarga. Pintu masuk pembahasan ini secara normatif yuridis menempati unsur penting dimulainya perubahan hukum Islam yang lebih berpihak pada kepentingan perempuan. Beberapa isu penting sengaja dilihat secara kritis untuk melihat bobot permasalahan yang sebenarnya. Dimulai dari persoalan sahnya dan pencatatan perkawinan, dispensasi nikah dan usia perkawinan, perwalian, mahar, perceraian, poligami, ketentuan keuangan, harta bersama, pemeliharaan anak diposisikan sebagai titik keberanjakan perubahan hukum Islam yang lebih adil dan humanis. Dengan demikian, doktrin keagamaan yang usang dan tidak memihak kepada kepentingan perempuan acap menjadi sandaran kekuatan analisis peneliti pada bagian ini. Dan secara niscaya, perubahan itu harus disuarakan terus-menerus.  

c.       Analisis Isi Buku
1.      Indonesia dan Masyarakat Hukum Islam.
Konstruksi sosial masyarakat Indonesia yang beragam menjadi cermin beragam takaran untuk menilai sebuah diktum hukum sebagai corong keadilan dan tentu memihak perubahan. Hal demikian terlihat pemberlakuan hukum perdata yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda bagi penduduk Hindia Belanda. Semenjak 1 Mei 1848, hukum perdata Belanda yang berlaku di Hindia Belanda tersebut mengalami kesulitan luar biasa berhadapan dengan realitas sosial yang komplek. Tidak saja dalam kapasitasnya yang determinan hukum perdata diberlakukan, lebih dari itu budaya hukum yang nyaris tidak dimiliki oleh sifat hukum perdata yang lebih bersifat Eropa dan tertulis itu tidak dijumpai dalam masyarakat hukum penduduk Hindia Belanda. Meski supremasi hukum perdata dinyatakan paling layak, namun pemerintah Belanda merasa perlu membuat formulasi hukum yang lebih akomodatif. Terbitnya Indische Staatsregeling (IS) pasal 161 tentang penggolongan penduduk Hindia Belanda setidaknya diupayakan mengurangi disparitas lebar antara doktrin hukum dan masyarakat Hindia Belanda.
Sementara kemajemukan hukum yang suntuk, senyatanya sifat pluralitas kebangsaan negeri jajahan Belanda tersebut telah banyak dihuni oleh penduduk asing. Dan persinggungan tiga golongan hukum di Hindia Belanda yakni golongan Eropa, Timur Asing dan Bumi Putera membuat semakin rumit penyelesaian sengketa di antara mereka. Lebih-lebih unsur agama dijadikan faktor pembeda tidak saja dalam golongan penduduk yang berbeda, namun juga dalam golongan penduduk yang sama. Semisal dalam golongan penduduk Indonesia (Bumi Putera) yang beragama Nasrani berlaku penundukan secara sukarela seluruhnya kepada hukum perdata Eropa. Juga dalam kenyataannya, pemerintah Belanda bermain mata dengan penduduk golongan Timur Asing yang berasal dari Jepang dengan memberlakukan hukum perdata Eropa sebanding dengan strata penduduk golongan Eropa.
Sejak Islam masuk di Nusantara pada abad 13, perpaduan hukum Islam dengan dengan hukum masyarakat lokal (baca : adat) terjadi dalam format yang saling berkelindan dan meneguhkan jati dirinya masing-masing. Semisal hukum waris untuk Minangkabau mengikuti pewarisan bersifat kolektif dan ahli waris yang mendapat harta warisan didasarkan pada garis keturunan dari pihak ibu. Sementara di Jawa dengan sistem kekerabatan parental atau bilateral, harta warisan dibagi secara merata antara ahli waris laki-laki dan perempuan. Akibatnya kerap terjadi ketegangan antara hukum Islam dan hukum adat. Untuk mengurai permasalahan ini, pemerintah Belanda menugaskan Van Vollen Hoven dan Van Den Berg mengurai persengkokolan dan perkelahian antara hukum Islam dan adat. Dengan hasil yang menggembirakan hati umat Islam, penelitian pakar sejarah dan politik Asia Timur itu diterima pemerintah Belanda dengan terbitnya Staatsblaad nomor 152 tahun 1882 tentang pembentukan pengadilan di Jawa dan Madura setelah sebelumnya umat Islam mendapat hadiah politik diterbitkannya Compedium Freijer yang menghimpun hukum perkawinan dan kewarisan Islam di pengadilan dalam rangka menyelesaikan sengketa di kalangan orang Islam.[3] Dengan demikian satu kemenangan bagi umat Islam telah diraih pada saat itu.
Hadiah pemerintah Belanda tersebut pada episode sejarah selanjutnya tidak memberi kesan ramah terhadap umat Islam yang semakin meningkatkan perlawanan Belanda. Pemerintah Belanda yang sering mengingkari perjanjian dengan para penguasa lokal menyulut sentimen agama. Perseteruan yang lebih bersifat penguasaan wilayah tersebut berbuah perlawanan dengan baju agama. Tidak dapat dipungkiri unsur ideologis keagamaan menjadi pemicu meningkatnya ketegangan antara pemerintah Belanda dan penguasa wilayah yang beragama Islam di tengah proyek misionaris Kristen yang menyusup dalam kepentingan kolonialisme. Dan keadaan demikian dimanfaatkan Belanda untuk membatasi ruang gerak umat Islam melalui bantuan penelitian tangan dingin Ahli Ketimuran, Snouck Hurgronye. Dan hasilnya, pengadilan agama di batasi kewenangannya hanya dalam masalah perkawinan saja yang tertuang dalam Staatsblaad Nomor 116 Tahun 1937.
Pengalaman sejarah panjang hukum Islam belum menyentuh kepentingan perempuan secara menyeluruh kalau tidak dihalangi oleh kepentingan politik melawan kolonialisme di Indonesia. Dengan demikian, masyarakat hukum Islam tidak menampakkan perannya mengusung isu-isu di sekitar keberpihakannya pada kepentingan perempuan. Sementara kondisi masyarakat hukum Indonesia yang plural menambah berat perjuangan kaum perempuan mewujudkan cita-cita mereka di kemudian hari.
     
2.      Sosiologi Hukum Sebagai Kritik
Jika sosiologi dipahami sebagai pengetahuan yang mengkaji hubungan timbal balik antara hukum dan gejala sosial secara empiris,[4] maka pertanyaannya adalah mengapa hukum Islam yang berlaku di Indonesia dalam sejarahnya di Indonesia tidak memenuhi harapan perempuan dalam mewujudkan diktum hukum tentang keadilan dan kesetaraan. Sementara, dalam posisinya yang penting hukum diadakan dalam rangka melayani kepentingan masyarakat. Karena wataknya yang dinamis dan empiris, penelitian LBH APIK Jakarta ini lebih menggambarkan hubungan yang fenomenal antara yang seharusnya (das sein) dengan yang senyatanya (das sollen). Karenanya, hukum yang tidak mencitrakan kebutuhan masyarakatnya berarti telah menjauhi dirinya sendiri. Dengan demikian, secara teleologis kebutuhan masyarakat terhadap hukum mencirikan kekuatan tujuannya. Semakin hukum tidak mampu menjalankan tujuannya semakin jauh pula dari masyarakatnya. Pada posisi seperti ini, maka menempatkan sosiologi hukum sebagai instrumen kritik bagi efektifitas hukum itu sendiri adalah niscaya. Bebarapa obyek pembahasan dalam buku ini yang mencirikan kritik kelompok sosial ini adalah sebagai berikut. Pertama, sahnya dan pencatatan perkawinan. Dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Sementara dalam ayat dua disebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari ketentuan ini jelas bahwa Undang-undang Perkawinan maupun KHI memisahkan masalah pencatatan perkawinan dengan sahnya perkawinan. Karena kepentingan pencatatan ini, seharusnya Pegawai Pencatat Nikah (PPN) tidak berhak menolak siapapun yang ingin mencatatkan perkawinannya. Namun dalam praktiknya, perkawinan yang telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan agama dan kepercayannya sulit untuk dicatatkan.
Dalam kenyataannya, pernikahan yang tidak dicatatkan menjadi alasan para lelaki untuk mengingkari pernikahannya. Alih-alih ia dapat menggunakan statusnya yang tidak terikat perkawinan dengan orang lain mengabaikan tanggungjawabnya terhadap anak dan istrinya. Dan tentu dapat digunakan untuk melakukan pernikahan lain tanpa dinyatakan sebagai poligami.
Kedua, dalam masalah poligami. Dalam praktiknya, ketentuan pembatasan poligami melalui izin pengadilan tidak cukup efektif mengurangi poligami yang dilakukan di luar pengadilan. Penelitian yang dilakukan oleh Julia S. Suryakusuma menujukkan banyaknya perkawinan semu dimana para suami melakukan hubungan dengan perempuan lain apakah melalui poligami di luar pengadilan maupun praktik lain memiliki perempuan simpanan, penggunaan perempuan simpanan, penggunaan perempuan yang terlibat prostitusi untuk melayani mitra bisnis, penggunaan perempuan sebagai piala bergilir. Fenomena ini menjadi praktik yang meningkat, lazim dan baku.[5] 
Sementara contoh yang ketiga tentang perwalian. Bahwasannya dalam pelaksanaannya sulit untuk meminta tanggungjawab seorang bapak terhadap anaknya setelah perceraian. Hal ini dialami seorang ibu bernama Neneng yang tengah memperjuangkan nasib lebih baik bagi anaknya. Kebetulan suami ibu Neneng bekerja dan bekas suaminya di kantor yang sama. Baginya, nafkah sebesar sepertiga dari gaji mantan suaminya tidak cukup untuk menutupi pengeluarannya sehari-hari bersama anak-anaknya.
Dengan demikian perilaku masyarakat dalam batasan ini dinyatakan oleh individu yang mempunyai perilaku sama dapat dinyatakan sebagai obyek sosiologi hukum. Dengan asumsi bahwa ada hubungan timbal balik antara hukum yang termaktub dalam peundang-undangan maupun putusan hakim sebagai gejala sosial yang benar-benar terjadi.
  
3.  Penutup.
Dapat dimenegerti bahwa buku yang berjudul Posisi Perempuan dalam Hukum Islam di Indonesia, meski beberapa upaya meresepsi budaya hukum yang terjadi di Nusantara disusun untuk memenuhi tujuan hukum yang berkeadilan namun telaah peneliti dalam karya ini telah melengkapi kajian dari sudut pandang sosiologi hukum. Sosiologi hukum merupakan suatu Cabang ilmu pengetahuan yang antara Lain meneliti mengapa manusia patuh Pada hukum dan mengapa dia gagal Untuk menaati hukum tersebut serta Faktor-faktor sosial lain yang mempengaruhinya. Sosiologi hukum merupakan suatu cabang dari sosiologi umum.
Dengan demikian, gejala sosial yang berhubungan secara dialektis dengan hukum menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan apa yang disebut sosiologi hukum.












DAFTAR PUSTAKA
Lev, Daniel S., Judicial Institutions and Legal Culture in Indonesia dalam Claire Holt (ed.), Culture and Politics in Indonesia, New York : Cornell Unversity Press, 1972.
Basri, Hasan, Perlunya Kompilasi Hukum Islam dalam Abdurrahman (ed.), Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Akademika Pressindo, 1992.
Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Islam di Indonesia dari Masa ke Masa dalam Dadan Muttaqien (ed.), Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Yogyakarta : UII Press, 1999.
Ali, Muhammad Daud, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem hukum di Indonesia, Jakarta : Yayasan Risalah, Jakarta, 1984..
Soekanto, Soeyono, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Jakarta : Rajawali Press, 1999.
Ali, Zainuddin, Sosiologi Hukum, Jakarta : Sinar Grafika, 2003.
Usman, Sabian, Dasar-dasar Sosiologi Hukum, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009.
Suryakusuma, Julia S., PP 10 : Senjata  Pamungkas atau Alat Kekuasaan, Kompas, September 2001.



[1] Daniel S. Lev, Judicial Institutions and Legal Culture in Indonesia dalam Claire Holt (ed.), Culture and Politics in Indonesia (New York : Cornell Unversity Press, 1972), 216.
[2] Lihat Hasan Basri, Perlunya Kompilasi Hukum Islam dalam Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta : Akademika Pressindo, 1992), 21.
[3] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam di Indonesia dari Masa ke Masa dalam Dadan Muttaqien (ed.), Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia (Yogyakarta : UII Press, 1999) 8, Muhammad Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem hukum di Indonesia, (Jakarta : Yayasan Risalah, Jakarta, 1984),6.
[4] Lihat Soeyono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum (Jakarta : Rajawali Press, 1999), 45, Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2003), 56, Sabian Usman, Dasar-dasar Sosiologi Hukum (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009), 67,
[5] Julia S. suryakusuma, PP 10 : Senjata  Pamungkas atau Alat Kekuasaan, Kompas, September 2001.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar