Review
Buku
POSISI
PEREMPUAN DALAM HUKUM ISLAM DI INDONESIA
(Sosiologi
Hukum Sebagai Kritik)
1. Pendahuluan
Syahdan,
perubahan hukum Islam yang terjadi di Indonesia memberi petunjuk adanya
internalisasi nilai-nilai hukum Islam ke dalam hukum nasional. Meski diakui
bahwa identitas hukum Islam tetap dipertahankan berhadapan dengan hukum adat
dan hukum perdata. Kenyataan ini dalam perkembangan selanjutnya mencitrakan
sebuah akulturasi budaya hukum yang lebih bersifat keindonesiaan sejalan dengan
tumbuh-kembangnya penerimaan hukum Islam sebagai bahan baku hukum nasional. Pun
demikian, beberapa persoalan di sekitar hubungan antara Islam dan negara tetap
menjadi perdebatan yang krusial hingga hari ini. Tidak saja mewakili kesadaran
baru tentang hubungan dua entitas ini dalam ruang historisi modern. Karenanya,
problem hubungan negara dan agama dalam Islam menempati tempat yang mengesankan
sepanjang sejarah.
Namun
demikian resepsi hukum Islam ke dalam hukum negara dinyatakan dalam sejarahnya
berjalan secara linier tanpa banyak menghadapi hambatan. Kekuatan dan
kewibawaannya sebagai sumber hukum materiil dinyatakan sebagai paling siap
diterapkan dalam masyarakat hukum. Pertanyaan selanjutnya, sejauhmana peran
negara melahirkan hukum yang baru itu?. Tentu pada tingkat implementasi, negara
mempunyai peran menentukan sebagai aktor tunggal memuluskan keberadaan hukum
Islam di Indonesia. Dan kecenderungan ideologis hampir-hampir mewarnai hukum
Islam dijadikan sebagai sumber hukum nasional itu. Barangkali inilah menjadi
titik pijak yang mengkawatirkan bagi para penggagas modern mengenai konspirasi
negara dan agama menyisakan kisah pilu di masa lalu. Meski demikian pembahasan
tentang hubungan agama dan negara ini tidak dibicarakan dalam ulasan ini. Namun
setidaknya, kajian tentang hubungan antara agama dan negara dapat dijadikan
sebagai kesadaran awal perlunya mengkait padukan di antara keduanya.
Sementara
lebih penting dari sekedar mebicarakan dua entitas di atas, ruang sosial dimana
hukum Islam diberlakukan menjadi penting untuk dapat dikaji tentang kekuatannya
secara praktis sesuai dengan tuntuan masyarakat hukum. Buku dengan judul Posisi
Perempuan dalam Hukum Islam di Indonesia menjadi literatur penting
menyuguhkan urgensi sosiologi menempatkan posisi perempuan dalam masyarakat
yang sedang berubah itu. Di satu pihak perempuan dituntut dapat menjadi
pembaharu bagi dirinya, sementara di pihak lain, budaya hukum telah
dikonstruksi secara konservatif menegasikan tuntutan pembaharuan yang
progresif. Latar sosial masyarakat modern yang positivistik tentu akan
membangunkan kesadaran baru vis a vis dengan pemahaman hukum tradisional
yang masih mengakar pada kesadaran sebagian masyarakat Muslim Indonesia. Dan
bagaimanakah posisi perempuan harus memasuki ruang tarik-menarik dalam posisi
diametral antara tradisional dan modern tersebut. Karenanya, pembahasan dan
analisis selanjutnya adalah menempatkan sosiologi hukum sebagai instrumen
kritik pembaharuan dalam hukum Islam yang berlaku di Indonesia.
2. Pembahasan
a.
Identitas Buku
Judul
Buku : Posisi Perempuan Dalam Hukum
Islam di Indonesia
Penyusun : Ratna Batara Munti
Penerbit : LBH APIK Jakarta Tahun 2005
Tebal : 167 halaman + xx
b.
Isi Buku
Buku
bertajuk Posisi Perempuan dalam Hukum Islam di Indonesia merupakan laporan
penelitian yang dilakukan LBH APIK Jakarta bekerja sama dengan Sisters in Islam
Malaysia dan Ford Fundation pada tahun 2000 dan juga pernah dipresentasikan di
Kuala Lumpur pada tanggal 8-10 Juni 2001. Demi membagi pemahaman mengenai hasil
yang diperoleh dari penelitian ini, maka LBH APIK mempublikasikan hasil
penelitiannya dalam bentuk buku agar diketahui pihak lain secara luas. Buku ini
hanya terdiri dari dua bab. Bab pertama mengkaji perjalanan sistem hukum
Indonesia. Dalam bagian ini, peran perempuan menjadi sentrum pembicaraan.
Posisi perempuan dalam penyusunan perundang-undangan di Indonesia dilaporkan
dalam sketsa perjalanan panjang beberapa sub bahasan. Pertama,
mengkritisi peranan perempuan dalam penyusunan ordonansi perkawinan pada masa
kolonial Belanda. Tepatnya pada tahun 1937, pemerintah Belanda berupaya
membentuk Undang-undang Perkawinan yang diawali dengan disebarkannya rancangan
ordonansi tentang perkawinan tercatat. Isi pokok ordonansi tersebut adalah asas
monogami dalam perkawinan, putusnya perkawinan hanya karena salah satu pihak
meninggal dunia atau salah satu pihak tidak berada di tempat tinggalnya selama
dua tahun tanpa ada kabar berita dan perkawinan orang-orang pribumi tersebut
mempunyai akibat hukum yang sama dengan perkawinan yang tercatat pada
pencatatan sipil.
Kaum
perempuan merespon rancangan ordonansi ini terpecah menjadi dua kelompok yakni
kelompok yang pro dan kontra. Pihak yang pro adalah organisasi perempuan Poetri
Boedi Sedjati dan Serikat Kaoem Iboe. Hingga akhir masa kolonial ordonansi ini
tidak kunjung terwujud menjadi undang-undang.[1] Kedua,
meneliti peran perempuan dalam keterlibatannya dengan penyusunan undang-undang
perkawinan. Penyusunan RUU Perkawinan dengan asas poligami dapat diselesaikan
pada tahun 1954 dan diajukan pada kabinet pada tahun 1958. Di pihak lain,
Partai Nasional Indonesia melalui utusannya mengusulkan RUU Perkawinan dengan
asas monogami. Namun perjuangan kaum perempuan tersebut kandas di tengah jalan.
Namun demikian, pada tahun 1957 pemerintah meberlakukan Peraturan Pemerintah
Nomor 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah
untuk daerah luar Jawa dan Madura. Hal ini dimaksudkan sebagai akomodasi
pemerintah terhadap kepentingan orang Islam dalam menyelesaikan perkaranya di
bidang nikah, talak dan rujuk.
Ketiga, mengkaji peran dan posisi perempuan dalam Undang-undang
Perkawinan pada masa orde baru.
Pemerintah orde baru memulai babak baru dengan menugaskan kepada Lembaga
Pembinaan Hukum Nasional (LPHN) menyusun RUU Perkawinan yang bersifat Nasional.
Namun penyusunan RUU tersebut tidak berjalan sesuai dengan harapan pemerintah.
PPP mewakili kelompok agama menyatakan keberatannya atas RUU tersebut.
Sementara dalam penyusunan RUU tersebut baik pihak pemerintah yang didukung
oleh Golkar dan PDI dan PPP tidak pernah memperjuangkan kepentingan perempuan.
Kepentingan perempuan yang dimaksud berkisar di seputar asas perkawinan yang
menggunakan asas poligami. Selebihnya, RUU tersebut meneguhkan suprioritas
peran laki-laki atas perempuan. Meski demikian, RUU tersebut berhasil disetujui
menjadi Undang-undang Nomor 1 Tahun 1973 yang disahkan pada tanggal 2 Januari
1974. Keempat, pengkajian diarahkan pada momen penting tersusunnya
Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dengan asumsi telah berdirinya Pengadilan Agama di
luar Jawa dan Madura dirasa perlu disusun standar baku bagi para hakim dalam
memutus dan menyelesaikan perkara perdata orang Islam di Indonesia. Namun,
kepentingan politis mewarnai penyusunan KHI.[2]
Berdasarkan penurunan perolehan suara Golkar, pemerintah merasa perlu melakukan
politik akomodasi untuk meraih dukungan suara dari kelompok Islam. Sementara di
lain pihak perolehan suara PPP mengalami peningkatan pada tahun 1982. Jika KHI
dinyatakan sebagai hukum materiil maka perlu adanya instrumen hukum formil
sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Peradilan Agama Nomor 7 Tahun 1989
yang disahkan dan diberlakukan pada tanggal 29 Desember 1989.
Kenyataannya,
yang dijadikan fokus dalam penelitian ini adalah minimnya perhatian pemerintah
untuk melibatkan pihak perempuan dalam penyusunan KHI. Hal ini tentu menjadi
pertanyaan mendasar terhadap kinerja pemerintah dalam menyerap aspirasi
perempuan. Sementara dalam pasal-pasalnya KHI masih didominasi oleh doktrin
hukum Islam klasik tentang poligami dan masih jauh dari harapan perempuan
mengenai nilai kesetaraan dan keadilan. Dan dalam bagian ini, reformasi hukum
ditawarkan untuk hendak mencari formulasi hukum yang mengacu pada prinsip
kesetaraan, keadilan dan menjunjung tinggi martabat perempuan.
Pada
bab dua, tercantum beberapa analisis terhadap ketentuan-ketentuan hukum sejalan
dengan perhatian pada masalah peran dan posisi perempuan dalam masalah
keluarga. Pintu masuk pembahasan ini secara normatif yuridis menempati unsur
penting dimulainya perubahan hukum Islam yang lebih berpihak pada kepentingan
perempuan. Beberapa isu penting sengaja dilihat secara kritis untuk melihat
bobot permasalahan yang sebenarnya. Dimulai dari persoalan sahnya dan
pencatatan perkawinan, dispensasi nikah dan usia perkawinan, perwalian, mahar,
perceraian, poligami, ketentuan keuangan, harta bersama, pemeliharaan anak
diposisikan sebagai titik keberanjakan perubahan hukum Islam yang lebih adil
dan humanis. Dengan demikian, doktrin keagamaan yang usang dan tidak memihak
kepada kepentingan perempuan acap menjadi sandaran kekuatan analisis peneliti
pada bagian ini. Dan secara niscaya, perubahan itu harus disuarakan
terus-menerus.
c.
Analisis Isi Buku
1.
Indonesia dan Masyarakat Hukum Islam.
Konstruksi
sosial masyarakat Indonesia yang beragam menjadi cermin beragam takaran untuk
menilai sebuah diktum hukum sebagai corong keadilan dan tentu memihak
perubahan. Hal demikian terlihat pemberlakuan hukum perdata yang diterapkan
pemerintah kolonial Belanda bagi penduduk Hindia Belanda. Semenjak 1 Mei 1848,
hukum perdata Belanda yang berlaku di Hindia Belanda tersebut mengalami
kesulitan luar biasa berhadapan dengan realitas sosial yang komplek. Tidak saja
dalam kapasitasnya yang determinan hukum perdata diberlakukan, lebih dari itu
budaya hukum yang nyaris tidak dimiliki oleh sifat hukum perdata yang lebih
bersifat Eropa dan tertulis itu tidak dijumpai dalam masyarakat hukum penduduk
Hindia Belanda. Meski supremasi hukum perdata dinyatakan paling layak, namun
pemerintah Belanda merasa perlu membuat formulasi hukum yang lebih akomodatif.
Terbitnya Indische Staatsregeling (IS) pasal 161 tentang penggolongan
penduduk Hindia Belanda setidaknya diupayakan mengurangi disparitas lebar
antara doktrin hukum dan masyarakat Hindia Belanda.
Sementara
kemajemukan hukum yang suntuk, senyatanya sifat pluralitas kebangsaan negeri
jajahan Belanda tersebut telah banyak dihuni oleh penduduk asing. Dan
persinggungan tiga golongan hukum di Hindia Belanda yakni golongan Eropa, Timur
Asing dan Bumi Putera membuat semakin rumit penyelesaian sengketa di antara
mereka. Lebih-lebih unsur agama dijadikan faktor pembeda tidak saja dalam
golongan penduduk yang berbeda, namun juga dalam golongan penduduk yang sama.
Semisal dalam golongan penduduk Indonesia (Bumi Putera) yang beragama Nasrani
berlaku penundukan secara sukarela seluruhnya kepada hukum perdata Eropa. Juga dalam
kenyataannya, pemerintah Belanda bermain mata dengan penduduk golongan Timur
Asing yang berasal dari Jepang dengan memberlakukan hukum perdata Eropa
sebanding dengan strata penduduk golongan Eropa.
Sejak
Islam masuk di Nusantara pada abad 13, perpaduan hukum Islam dengan dengan
hukum masyarakat lokal (baca : adat) terjadi dalam format yang saling
berkelindan dan meneguhkan jati dirinya masing-masing. Semisal hukum waris
untuk Minangkabau mengikuti pewarisan bersifat kolektif dan ahli waris yang
mendapat harta warisan didasarkan pada garis keturunan dari pihak ibu.
Sementara di Jawa dengan sistem kekerabatan parental atau bilateral, harta
warisan dibagi secara merata antara ahli waris laki-laki dan perempuan.
Akibatnya kerap terjadi ketegangan antara hukum Islam dan hukum adat. Untuk
mengurai permasalahan ini, pemerintah Belanda menugaskan Van Vollen Hoven dan
Van Den Berg mengurai persengkokolan dan perkelahian antara hukum Islam dan
adat. Dengan hasil yang menggembirakan hati umat Islam, penelitian pakar
sejarah dan politik Asia Timur itu diterima pemerintah Belanda dengan terbitnya
Staatsblaad nomor 152 tahun 1882 tentang pembentukan pengadilan di Jawa
dan Madura setelah sebelumnya umat Islam mendapat hadiah politik diterbitkannya
Compedium Freijer yang menghimpun hukum perkawinan dan kewarisan Islam
di pengadilan dalam rangka menyelesaikan sengketa di kalangan orang Islam.[3]
Dengan demikian satu kemenangan bagi umat Islam telah diraih pada saat itu.
Hadiah
pemerintah Belanda tersebut pada episode sejarah selanjutnya tidak memberi
kesan ramah terhadap umat Islam yang semakin meningkatkan perlawanan Belanda.
Pemerintah Belanda yang sering mengingkari perjanjian dengan para penguasa
lokal menyulut sentimen agama. Perseteruan yang lebih bersifat penguasaan
wilayah tersebut berbuah perlawanan dengan baju agama. Tidak dapat dipungkiri
unsur ideologis keagamaan menjadi pemicu meningkatnya ketegangan antara
pemerintah Belanda dan penguasa wilayah yang beragama Islam di tengah proyek
misionaris Kristen yang menyusup dalam kepentingan kolonialisme. Dan keadaan
demikian dimanfaatkan Belanda untuk membatasi ruang gerak umat Islam melalui
bantuan penelitian tangan dingin Ahli Ketimuran, Snouck Hurgronye. Dan
hasilnya, pengadilan agama di batasi kewenangannya hanya dalam masalah
perkawinan saja yang tertuang dalam Staatsblaad Nomor 116 Tahun 1937.
Pengalaman
sejarah panjang hukum Islam belum menyentuh kepentingan perempuan secara
menyeluruh kalau tidak dihalangi oleh kepentingan politik melawan kolonialisme
di Indonesia. Dengan demikian, masyarakat hukum Islam tidak menampakkan
perannya mengusung isu-isu di sekitar keberpihakannya pada kepentingan perempuan.
Sementara kondisi masyarakat hukum Indonesia yang plural menambah berat
perjuangan kaum perempuan mewujudkan cita-cita mereka di kemudian hari.
2.
Sosiologi Hukum Sebagai Kritik
Jika
sosiologi dipahami sebagai pengetahuan yang mengkaji hubungan timbal balik
antara hukum dan gejala sosial secara empiris,[4]
maka pertanyaannya adalah mengapa hukum Islam yang berlaku di Indonesia dalam
sejarahnya di Indonesia tidak memenuhi harapan perempuan dalam mewujudkan
diktum hukum tentang keadilan dan kesetaraan. Sementara, dalam posisinya yang
penting hukum diadakan dalam rangka melayani kepentingan masyarakat. Karena
wataknya yang dinamis dan empiris, penelitian LBH APIK Jakarta ini lebih
menggambarkan hubungan yang fenomenal antara yang seharusnya (das sein) dengan
yang senyatanya (das sollen). Karenanya, hukum yang tidak mencitrakan
kebutuhan masyarakatnya berarti telah menjauhi dirinya sendiri. Dengan
demikian, secara teleologis kebutuhan masyarakat terhadap hukum mencirikan
kekuatan tujuannya. Semakin hukum tidak mampu menjalankan tujuannya semakin
jauh pula dari masyarakatnya. Pada posisi seperti ini, maka menempatkan
sosiologi hukum sebagai instrumen kritik bagi efektifitas hukum itu sendiri
adalah niscaya. Bebarapa obyek pembahasan dalam buku ini yang mencirikan kritik
kelompok sosial ini adalah sebagai berikut. Pertama, sahnya dan
pencatatan perkawinan. Dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pasal
2 ayat 1 menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Sementara dalam ayat dua
disebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Dari ketentuan ini jelas bahwa Undang-undang
Perkawinan maupun KHI memisahkan masalah pencatatan perkawinan dengan sahnya
perkawinan. Karena kepentingan pencatatan ini, seharusnya Pegawai Pencatat
Nikah (PPN) tidak berhak menolak siapapun yang ingin mencatatkan perkawinannya.
Namun dalam praktiknya, perkawinan yang telah dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan agama dan kepercayannya sulit untuk dicatatkan.
Dalam
kenyataannya, pernikahan yang tidak dicatatkan menjadi alasan para lelaki untuk
mengingkari pernikahannya. Alih-alih ia dapat menggunakan statusnya yang tidak
terikat perkawinan dengan orang lain mengabaikan tanggungjawabnya terhadap anak
dan istrinya. Dan tentu dapat digunakan untuk melakukan pernikahan lain tanpa
dinyatakan sebagai poligami.
Kedua, dalam masalah poligami. Dalam praktiknya, ketentuan pembatasan
poligami melalui izin pengadilan tidak cukup efektif mengurangi poligami yang
dilakukan di luar pengadilan. Penelitian yang dilakukan oleh Julia S.
Suryakusuma menujukkan banyaknya perkawinan semu dimana para suami melakukan
hubungan dengan perempuan lain apakah melalui poligami di luar pengadilan
maupun praktik lain memiliki perempuan simpanan, penggunaan perempuan simpanan,
penggunaan perempuan yang terlibat prostitusi untuk melayani mitra bisnis,
penggunaan perempuan sebagai piala bergilir. Fenomena ini menjadi praktik yang
meningkat, lazim dan baku.[5]
Sementara
contoh yang ketiga tentang perwalian. Bahwasannya dalam pelaksanaannya sulit
untuk meminta tanggungjawab seorang bapak terhadap anaknya setelah perceraian.
Hal ini dialami seorang ibu bernama Neneng yang tengah memperjuangkan nasib
lebih baik bagi anaknya. Kebetulan suami ibu Neneng bekerja dan bekas suaminya
di kantor yang sama. Baginya, nafkah sebesar sepertiga dari gaji mantan
suaminya tidak cukup untuk menutupi pengeluarannya sehari-hari bersama
anak-anaknya.
Dengan
demikian perilaku masyarakat dalam batasan ini dinyatakan oleh individu yang
mempunyai perilaku sama dapat dinyatakan sebagai obyek sosiologi hukum. Dengan
asumsi bahwa ada hubungan timbal balik antara hukum yang termaktub dalam
peundang-undangan maupun putusan hakim sebagai gejala sosial yang benar-benar
terjadi.
3. Penutup.
Dapat
dimenegerti bahwa buku yang berjudul Posisi Perempuan dalam Hukum Islam di
Indonesia, meski beberapa upaya meresepsi budaya hukum yang terjadi di
Nusantara disusun untuk memenuhi tujuan hukum yang berkeadilan namun telaah
peneliti dalam karya ini telah melengkapi kajian dari sudut pandang sosiologi
hukum. Sosiologi hukum merupakan suatu Cabang ilmu pengetahuan
yang antara Lain meneliti mengapa manusia patuh Pada hukum dan mengapa dia
gagal Untuk menaati hukum tersebut serta Faktor-faktor sosial lain yang mempengaruhinya. Sosiologi
hukum merupakan suatu cabang dari sosiologi umum.
Dengan demikian, gejala sosial yang
berhubungan secara dialektis dengan hukum menjadi bagian yang tak terpisahkan
dengan apa yang disebut sosiologi hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Lev,
Daniel S., Judicial Institutions and Legal Culture in Indonesia dalam Claire Holt
(ed.), Culture and Politics in Indonesia, New York : Cornell Unversity
Press, 1972.
Basri,
Hasan, Perlunya Kompilasi Hukum Islam dalam Abdurrahman (ed.), Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Akademika Pressindo, 1992.
Basyir,
Ahmad Azhar, Hukum Islam di Indonesia dari Masa ke Masa dalam Dadan Muttaqien
(ed.), Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia,
Yogyakarta : UII Press, 1999.
Ali,
Muhammad Daud, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem hukum di
Indonesia, Jakarta : Yayasan Risalah, Jakarta, 1984..
Soekanto,
Soeyono, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Jakarta : Rajawali Press, 1999.
Ali,
Zainuddin, Sosiologi Hukum, Jakarta : Sinar Grafika, 2003.
Usman,
Sabian, Dasar-dasar Sosiologi Hukum, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009.
Suryakusuma,
Julia S., PP 10 : Senjata Pamungkas atau
Alat Kekuasaan, Kompas, September 2001.
[1]
Daniel S. Lev, Judicial Institutions and Legal Culture in Indonesia dalam
Claire Holt (ed.), Culture and Politics in Indonesia (New York : Cornell
Unversity Press, 1972), 216.
[2]
Lihat Hasan Basri, Perlunya Kompilasi Hukum Islam dalam Abdurrahman, Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia (Jakarta : Akademika Pressindo, 1992), 21.
[3] Ahmad
Azhar Basyir, Hukum Islam di Indonesia dari Masa ke Masa dalam Dadan Muttaqien
(ed.), Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia
(Yogyakarta : UII Press, 1999) 8, Muhammad Daud Ali, Kedudukan
Hukum Islam dalam Sistem hukum di Indonesia, (Jakarta : Yayasan
Risalah, Jakarta, 1984),6.
[4]
Lihat Soeyono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum (Jakarta : Rajawali
Press, 1999), 45, Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, (Jakarta : Sinar
Grafika, 2003), 56, Sabian Usman, Dasar-dasar Sosiologi Hukum
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009), 67,
[5]
Julia S. suryakusuma, PP 10 : Senjata
Pamungkas atau Alat Kekuasaan, Kompas, September 2001.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar