Batas waktu pakai jilbab
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Saya ingin bertanya, seorang wanita diwajibkan memakai jilbab sejak dari
kapan?. Dan jilbab dipakai kapan aja atau ada batas waktunya untuk berjilbab.
Tolong saya butuh penjelasan yang detail. Terima kasih. (Umi, Kediri,
085785432xxx).
Jawaban :
Ada dua hal yang perlu dijelaskan
berkaitan dengan pertanyaan saudari Umi. Pertama, batasan waktu bagi
seorang perempuan untuk memakai jilbab secara umum. Kedua berkaitan
dengan keadaan diwajibkannya memakai jilbab. Sebelum menjelaskan kedua
permasalahan tersebut perlu dibedakan beberapa peristilahan yang berhubungan
dengan jilbab. Jilbab sebagaimana disebutkan al Qur'an dalam bentuk jamak (plural)
terdapat dalam surat al-Ahzab ayat 59 yang artinya "Hai Nabi, katakanlah
pada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin,
hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian
itu, supaya mereka lebih mudah dikenali. Karena itu mereka tidak diganggu. Dan
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". Jilbab secara historis
merupakan pakaian luar perempuan guna menutupi seluruh badannya. Meski kemudian
bergeser maknanya sebagai penutup kepala. Karena itu jilbab lebih luas maknanya
daripada sekedar penutup kepala (kerudung).
Batasan jilbab sebagaimana
disebutkan surat al-Ahzab ayat 59 adalah seluruh badan wanita. Mengenai
perbedaan anggota badan yang harus ditutupi sebagai aurat, pengikut madzhab
Hanbali dan Syafi'i menyatakan bahwa seluruh badan termasuk wajah dan tangan
perempuan adalah aurat. Hal ini didasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Ubaydah
al-Salmani yang menyatakan bahwa wanita mukmin pada masa Nabi mengulurkan jilbabnya
sehingga seluruh badannya tertutup kecuali matanya untuk melihat jalan. Menurut
Abu Zakariya al-Nawawi alam kitabnya Raudlat al-Thalibin volume 1
halaman 389 menyatakan bahwa kewajiban menutup wajah dan telapak tangan adalah
mutlak baik dalam situasi aman maupun situasi yang dikhawatirkan timbul fitnah.
Sedangkan ulama Hanafiyah dan
Malikiyah berpendapat bahwa wajah dan telapak tangan bukanlah aurat, karenanya
boleh ditampakkan. Hal ini didasarkan kepada pengungkapan maksud penggalan ayat
31 dari surat al-Nur yakni illa maa
dzahara minha (kecuali yang -biasa- tampak dari perhiasan) dengan menunjuk
pada maksud bagian wajah dan telapak tangan.
Dalam hal ini, Ibnu Jarir Al-Tabari dalam tafsirnya menyatakan bahwa
arti dari kandungan ayat tersebut adalah janganlah mereka menampakkan hiasan
mereka kecuali anggota badan yang mendesak harus terbuka yakni wajah dan
telapak tangan. Hal ini juga didukung atas pemahaman terhadap hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari yang berbunyi “Sesungguhnya seorang perempuan
datang kepada Rasulullah SAW dan berkata,”Hai Rasulullah, saya datang untuk
memberikan diriku kepadamu. Lantas Rasulullah melihat perempuan tersebut dengan
mengarahkan pandangannya. Namun kemudian Rasulullah menundukkan kepalanya”.
Dalam pandangan golongan yang membolehkan membuka wajah, andai perempuan
tersebut tidak membuka wajahnya, tentu Rasulullah tidak mengarahkan
pandangannya kepada perempuan itu. Meski wajah dan telapak tangan bukan aurat
menurut ulama’ Hanafiyah dan Malikiyah namun melihatnya dengan pandangan yang
dapat menimbulkan birahi, maka pandangan itu tetap dihukumi haram.
Untuk menjawab pertanyaan kapan
wanita diwajibkan mengenakan jilbab sebagai penutup badannya, maka perlu
dipaparkan hal-hal sebagai berikut. Wanita yang telah mengalami masa haid
diwajibkan untuk mengenakan jilbab sebagai penutup badan. Hal ini didasarkan
pada pada hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud bahwasanya Asma’ binti Abu
Bakar berkunjung ke rumah Rasulullah SAW dengan pakaian yang tipis. Lantas
Rasulullah berpaling sambil berkata,”Hai Asma’, seharusnya wanita yang telah
mengalami haid tidak pantas dilihat kecuali ini sambil menunjukkan wajah dan
telapak tangan”. Karena itu, dalam
rangka tahdzibul fard (pendidikan hukum bagi individu) perlu dilakukan
secara bertahap dengan melatih menggunakan jilbab meski belum mencapai masa
haid.
Kemudian berkaitan dengan kapan saja
seorang perempuan memakai jilbab, maka terdapat beberapa keterangan sebagai
berikut. Sebagaimana disebutkan dalam al Qur’an surat al-Nur ayat 31
menyatakan,”Katakanlah kepada wanita-wanita beriman, hendaklah mereka
menahan pandangan dan kemaluannya. Janganlah mereka memperlihatkan perhiasannya
kecuali yang (biasa) tampak. Hendaklah mereka menutupi dadanya dengan khumur
(kudung) dan janganlah mereka memperlihatkan perhiasannya kecuali kepada suami
mereka, ayah suami mereka atau anak-anak mereka dan anak-anak suami mereka,
atau saudara-saudara laki-laki mereka dan saudara laki-laki mereka, anak
saudara laki-laki mereka, anak-anak saudara perempuan mereka, dan wanita-wanita
mereka, budak-budak yang mereka miliki atau pelayan laki-laki yang tidak
mempunyai keinginan (terhadap wanita), dan anak-anak yang belum mengerti aurat
wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang
mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kepada Allah, hai orang-orang yang beriman
agar kamu beruntung”.
Jelasnya ayat ini memberi
ketentuan bahwa perempuan tidak dengan serta merta diperbolehkan memperlihatkan
auratnya kepada golongan yang disebutkan oleh ayat tersebut. Karena penyebutan
perhiasan merupakan bagian dari tubuh. Artinya diperbolehkannya memperlihatkan
perhiasan itu terbatas pada batasan zinah dziharah (hiasan yang tampak)
yakni wajah dan telapak tangan dan bukan zinah batiniyah (hiasan yang
tersembunyi). Karena itu, wanita yang keluar rumah untuk kepentingan bekerja
atau keperluan lain dengan terbukanya wajah dan telapak tangan adalah haram
sesuai dengan kutipan pendapat dari Ibrahim al-Bajuri dalam kitabnya Hasyiah
al-Bajuri jilid II halaman 97. Meski demikian ulama’ Hanafiyah menyatakan
bolehnya perempuan keluar rumah dengan wajah dan telapak tangan terbuka dengan
syarat tidak menimbulkan fitnah. Karena kedua anggota tubuh tersebut bukanlah
aurat.
Di sisi lain seorang pria boleh
melihat wajah dan telapak tangan wanita yang bukan mahramnya untuk
mengajarkan agama dengan syarat tidak menimbulkan fitnah, pelajarannya harus
mengenai kewajiban wanita, tidak ada guru wanita atau mahram , penyampaian
pelajaran membutuhkan situasi berhadapan muka.
Berkaitan dengan pertanyaan
saudari Umi, meski jilbab telah dipahami sebagai penutup kepala (kerudung) maka
ada baiknya diperhatikan hal-hal sebagai berikut. Pertama, hendaknya
penggunaan jilbab ditujukan untuk menutup aurat dalam pengertian yang
sebenar-benarnya. Kedua, perlunya penjagaan anggota tubuh lain selain
anggota yang menjadi tempat jilbab. Dengan asumsi bahwa anggota tubuh yang lain
harus diperlakukan sama dalam rangka menutup aurat. Ketiga, hendaknya
pemakai jilbab menyesuaikan diri dengan atribut jilbab tersebut. Agar tidak
terjadi kesenjangan antara perilaku orang yang berjilbab dengan atribut yang
sedang digunakan. Wallahu A’lam bi al-Shawab.
Zayad Abd. Rahman, MHI, dosen
Syariah STAIN Kediri dan berkhidmah di jajaran Syuriah PCNU Kabupaten Kediri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar