Selasa, 23 April 2013

Dialog Jumat Radar, 19 April 2013



Batas waktu pakai jilbab
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Saya ingin bertanya, seorang wanita diwajibkan memakai jilbab sejak dari kapan?. Dan jilbab dipakai kapan aja atau ada batas waktunya untuk berjilbab. Tolong saya butuh penjelasan yang detail. Terima kasih. (Umi, Kediri, 085785432xxx).

Jawaban :
Ada dua hal yang perlu dijelaskan berkaitan dengan pertanyaan saudari Umi. Pertama, batasan waktu bagi seorang perempuan untuk memakai jilbab secara umum. Kedua berkaitan dengan keadaan diwajibkannya memakai jilbab. Sebelum menjelaskan kedua permasalahan tersebut perlu dibedakan beberapa peristilahan yang berhubungan dengan jilbab. Jilbab sebagaimana disebutkan al Qur'an dalam bentuk jamak (plural) terdapat dalam surat al-Ahzab ayat 59 yang artinya "Hai Nabi, katakanlah pada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu, supaya mereka lebih mudah dikenali. Karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". Jilbab secara historis merupakan pakaian luar perempuan guna menutupi seluruh badannya. Meski kemudian bergeser maknanya sebagai penutup kepala. Karena itu jilbab lebih luas maknanya daripada sekedar penutup kepala (kerudung).
Batasan jilbab sebagaimana disebutkan surat al-Ahzab ayat 59 adalah seluruh badan wanita. Mengenai perbedaan anggota badan yang harus ditutupi sebagai aurat, pengikut madzhab Hanbali dan Syafi'i menyatakan bahwa seluruh badan termasuk wajah dan tangan perempuan adalah aurat. Hal ini didasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Ubaydah al-Salmani yang menyatakan bahwa wanita mukmin pada masa Nabi mengulurkan jilbabnya sehingga seluruh badannya tertutup kecuali matanya untuk melihat jalan. Menurut Abu Zakariya al-Nawawi alam kitabnya Raudlat al-Thalibin volume 1 halaman 389 menyatakan bahwa kewajiban menutup wajah dan telapak tangan adalah mutlak baik dalam situasi aman maupun situasi yang dikhawatirkan timbul fitnah.
Sedangkan ulama Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa wajah dan telapak tangan bukanlah aurat, karenanya boleh ditampakkan. Hal ini didasarkan kepada pengungkapan maksud penggalan ayat 31 dari surat al-Nur  yakni illa maa dzahara minha (kecuali yang -biasa- tampak dari perhiasan) dengan menunjuk pada maksud bagian wajah dan telapak tangan.  Dalam hal ini, Ibnu Jarir Al-Tabari dalam tafsirnya menyatakan bahwa arti dari kandungan ayat tersebut adalah janganlah mereka menampakkan hiasan mereka kecuali anggota badan yang mendesak harus terbuka yakni wajah dan telapak tangan. Hal ini juga didukung atas pemahaman terhadap hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari yang berbunyi “Sesungguhnya seorang perempuan datang kepada Rasulullah SAW dan berkata,”Hai Rasulullah, saya datang untuk memberikan diriku kepadamu. Lantas Rasulullah melihat perempuan tersebut dengan mengarahkan pandangannya. Namun kemudian Rasulullah menundukkan kepalanya”. Dalam pandangan golongan yang membolehkan membuka wajah, andai perempuan tersebut tidak membuka wajahnya, tentu Rasulullah tidak mengarahkan pandangannya kepada perempuan itu. Meski wajah dan telapak tangan bukan aurat menurut ulama’ Hanafiyah dan Malikiyah namun melihatnya dengan pandangan yang dapat menimbulkan birahi, maka pandangan itu tetap dihukumi haram. 
Untuk menjawab pertanyaan kapan wanita diwajibkan mengenakan jilbab sebagai penutup badannya, maka perlu dipaparkan hal-hal sebagai berikut. Wanita yang telah mengalami masa haid diwajibkan untuk mengenakan jilbab sebagai penutup badan. Hal ini didasarkan pada pada hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud bahwasanya Asma’ binti Abu Bakar berkunjung ke rumah Rasulullah SAW dengan pakaian yang tipis. Lantas Rasulullah berpaling sambil berkata,”Hai Asma’, seharusnya wanita yang telah mengalami haid tidak pantas dilihat kecuali ini sambil menunjukkan wajah dan telapak tangan”.  Karena itu, dalam rangka tahdzibul fard (pendidikan hukum bagi individu) perlu dilakukan secara bertahap dengan melatih menggunakan jilbab meski belum mencapai masa haid.
Kemudian berkaitan dengan kapan saja seorang perempuan memakai jilbab, maka terdapat beberapa keterangan sebagai berikut. Sebagaimana disebutkan dalam al Qur’an surat al-Nur ayat 31 menyatakan,”Katakanlah kepada wanita-wanita beriman, hendaklah mereka menahan pandangan dan kemaluannya. Janganlah mereka memperlihatkan perhiasannya kecuali yang (biasa) tampak. Hendaklah mereka menutupi dadanya dengan khumur (kudung) dan janganlah mereka memperlihatkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, ayah suami mereka atau anak-anak mereka dan anak-anak suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka dan saudara laki-laki mereka, anak saudara laki-laki mereka, anak-anak saudara perempuan mereka, dan wanita-wanita mereka, budak-budak yang mereka miliki atau pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita), dan anak-anak yang belum mengerti aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kepada Allah, hai orang-orang yang beriman agar kamu beruntung”.
Jelasnya ayat ini memberi ketentuan bahwa perempuan tidak dengan serta merta diperbolehkan memperlihatkan auratnya kepada golongan yang disebutkan oleh ayat tersebut. Karena penyebutan perhiasan merupakan bagian dari tubuh. Artinya diperbolehkannya memperlihatkan perhiasan itu terbatas pada batasan zinah dziharah (hiasan yang tampak) yakni wajah dan telapak tangan dan bukan zinah batiniyah (hiasan yang tersembunyi). Karena itu, wanita yang keluar rumah untuk kepentingan bekerja atau keperluan lain dengan terbukanya wajah dan telapak tangan adalah haram sesuai dengan kutipan pendapat dari Ibrahim al-Bajuri dalam kitabnya Hasyiah al-Bajuri jilid II halaman 97. Meski demikian ulama’ Hanafiyah menyatakan bolehnya perempuan keluar rumah dengan wajah dan telapak tangan terbuka dengan syarat tidak menimbulkan fitnah. Karena kedua anggota tubuh tersebut bukanlah aurat.
Di sisi lain seorang pria boleh melihat wajah dan telapak tangan wanita yang bukan mahramnya untuk mengajarkan agama dengan syarat tidak menimbulkan fitnah, pelajarannya harus mengenai kewajiban wanita, tidak ada guru wanita atau mahram , penyampaian pelajaran membutuhkan situasi berhadapan muka.
Berkaitan dengan pertanyaan saudari Umi, meski jilbab telah dipahami sebagai penutup kepala (kerudung) maka ada baiknya diperhatikan hal-hal sebagai berikut. Pertama, hendaknya penggunaan jilbab ditujukan untuk menutup aurat dalam pengertian yang sebenar-benarnya. Kedua, perlunya penjagaan anggota tubuh lain selain anggota yang menjadi tempat jilbab. Dengan asumsi bahwa anggota tubuh yang lain harus diperlakukan sama dalam rangka menutup aurat. Ketiga, hendaknya pemakai jilbab menyesuaikan diri dengan atribut jilbab tersebut. Agar tidak terjadi kesenjangan antara perilaku orang yang berjilbab dengan atribut yang sedang digunakan. Wallahu A’lam bi al-Shawab.
Zayad Abd. Rahman, MHI, dosen Syariah STAIN Kediri dan berkhidmah di jajaran Syuriah PCNU Kabupaten Kediri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar