Jumat, 11 November 2016

10 Nopember 2016 Hari Pahlawan



Keulamaan, Kebangsaan dan Kepahlawanan
Oleh : Zayad abd. Rahman*

Satu babak perubahan telah bergulir hari ini. Secara berturut-turut, perubahan itu dimulai dengan penganugerahan hari santri sebagai hari nasional. Dan telah kita saksikan bersama drama kolosal bertajuk demo ulama dan santrinya pada 4 Nopember yang lalu. Dan segera disusul dengan hari nasional lain yakni hari pahlawan.Tiga peristiwa penting tersebut berkelindan untuk menentukan cara keberagamaan (religiousity) dalam keberagaman (diversity) di Indonesia yang kita cintai. Romantika keberagaman yang telah terjalin sangat sulit untuk dipertahankan. Berbagai upaya masif telah dilakukan. Momentum keterbukaan tak dapat berfungsi maksimal. Ihwal ketersinggungan atas penodaan dan penistaan agama menjadi naik intensitasnya.Selebihnya, menyisakan pertanyaan besar seputar ulama dan pahlawan dalam bingkai keindonesiaan yang majemuk.
Telah dapat dipahami bahwa gejala negara-bangsa (nation-state) pada awal kemerdekaan diterima sebagai sesuatu yang harus ada oleh para ulama pendiri bangsa. Meski masih dalam rupa pencarian yang terus-menerus dilakukan. Dan akhirnya, ulama mendefinisikan negara baru itu, Indonesia sebagai dar al-salam (negara damai). Selanjutnyan mengakui bahwa Indonesia muda sebagai negara berdaulat yang harus dijunjung harkat dan martabatnya, dibela kehormatannya dan dicintai sebagai bagian dari kecintaan pada agama. Tuntas sudah keberagaman  itu ditahbiskan dalam jiwa kaum Muslim saat itu. Sekaligus mencakup haru-biru sebagai perang suci membela kehormatan yang telah mendapat restu dari ajaran agama yang suci. Perang suci itu bernama 10 Nopember. Sebuah nama yang menunjukkan tafsir baru atas kecintaan agama dengan mencintai tanah air tercinta. Dan kecintaan pada seluruh elemen kebangsaan sejalan dengan kecintaan pada agama. Sungguh peristiwa yang menggemparkan sekaligus mengharukan.
Agaknya pengalaman masa lalu mengalami perubahan mendasar tidak saja sulit untuk memberi ta’rif  baru atas perang suci, namun lebih dari itu. Memberi perluasan makna bahwa perang suci telah melupakan pelakunya sendiri. Keberagaman yang menjadi salah satu penopang perang suci itu sontak terkoyak oleh atas nama perang suci yang lain. Perang melawan bangsanya sendiri. Bila demikian, akankah hari pahlawan yang akan datang itu tak perlu lagi diperingati?. Karena gua garba perang suci yang berasal dari keberagaman justru mencabik-cabik keberagaman yang telah dikokohkannya. Gambaran ini telah nyata didengungkan oleh kitab suci. Membuat jalin tenun indah. Namun diurai bercerai-berai kembali.
Mengupas Akar Anti Keberagaman.
Jika demikian yang terjadi, alangkah baiknya, seluruh elemen bangsa melirik kembali capaian emas dengan darah dan air mata itu dirajut kembali. Dahulu, tidak ada paham transnasional berujung radikalisme. Tak ada paham sektarian berujung SARA. Tak ada paham ekslusivisme berujung keangkuhan dan perselingkuhan. Para pendiri bangsa berupaya mendudukkan posisi agama sejalan tujuan negara. Yang ada nasionalisme. Ajaran yang meletakkan cara berpikir keberagaman dalam negara. Pluralitas dinyatakan sebagai bagian mendasar berdirinya negara yang berbudaya. Bukannya seluruh elemen keyakinan dan kepercayaan manusia. Namun, mencoba menubuhkan saling percaya untuk hidup bersama.
Ciri utama hidup bersama memang harus dimulai dari sikap saling percaya. Wilayah ini dapat disebut paling rawan untuk dipahami. Karena jalinan kebenaran mudah menyulut kesalahpahaman. Dan di ruang ini, muncul pemahaman serba salah tentang kebenaran yang dianut pribadi maupun kelompok. Karena, hidup bersama dengan saling percaya mengikutsertakan unsur kepercayan lain sebagai bagian dari kebenaran. Al-hasil membuka pemahaman bahwa saling percaya sama artinya meneguhkan kebenaran pihak lain yang berbeda. Segregasi tak dapat dielakkan karena didukung ekslusivisme kepercayaan. Dan kehidupan bersama layaknya bara dalam sekam. Tak terlihat api. Namun panas membara. Itulah citra kehidupan tak tulus dalam kebersamaan.
Resonansi Kepahlawanan
Dapat dinyatakan bahwa kepahlawanan hari ini tidak terbatas berbentuk seremonial peringatan 10 Nopember. Namun lebih dari itu, tantangan berat dan menaklukkannya sebagai pahlawan dengan ta’rif dan tafsir baru. Peristiwa 4 Nopember menjadi titik tolak memaknai kepahlawanan. Siapakah yang menjadi pahlawan baru itu ?. Dua kelompok  sedang turut meramaikan arti pahlawan. Pertama, kelompok yang menyuarakan keprihatinan atas nilai sakral kitab suci yang digunakan dalam ruang politik. Jelasnya, mereka menganggap bahwa dengan dalih apapun, kitab suci tak dapat dibuat main-main dalam situasi permainan politik di tingkat praktis yang penuh tipu daya. Meski kemudian tampak menggelikan bahwa tuduhan penistaan agama itu tak mencapai sasaran. Alih-alih menjadi gunjingan publik yang tak beralasan. Karena hanya dikuasai sentimen keagamaan daripada beragama secara rasional.
Kedua, kelompok yang telah menyakini bahwa kitab suci merupakan instrumen sakral bagi penganutnya. Namun harus diposisikan dengan penuh kehati-hatian karena kemuliaannya. Karena, di dalamnya tersimpan beribu-ribu makna untuk dicari dan digali secara sungguh-sungguh. Sementara, kehendak dan arah Pencipta membumi dan menganugerahkan mutiara hikmah bagi manusia dan semesta. Dalam kelompok ini, istilah penistaan ditempatkan dalam cara berpikir yang rasional daripada emosional. Bila demikian halnya, siapakah pahlawan hari ini ?. Karena itu, selamat tinggal pahlawan lama dan selamat datang pahlawan baru. Selamat hari pahlawan...   
*Penulis adalah Pengajar di STAIN Kediri dan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kabupaten Kediri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar