Keulamaan, Kebangsaan dan Kepahlawanan
Oleh : Zayad abd. Rahman*
Satu
babak perubahan telah bergulir hari ini. Secara berturut-turut, perubahan itu
dimulai dengan penganugerahan hari santri sebagai hari nasional. Dan telah kita
saksikan bersama drama kolosal bertajuk demo ulama dan santrinya pada 4
Nopember yang lalu. Dan segera disusul dengan hari nasional lain yakni hari
pahlawan.Tiga peristiwa penting tersebut berkelindan untuk menentukan cara
keberagamaan (religiousity) dalam keberagaman (diversity) di
Indonesia yang kita cintai. Romantika keberagaman yang telah terjalin sangat
sulit untuk dipertahankan. Berbagai upaya masif telah dilakukan. Momentum
keterbukaan tak dapat berfungsi maksimal. Ihwal ketersinggungan atas penodaan
dan penistaan agama menjadi naik intensitasnya.Selebihnya, menyisakan
pertanyaan besar seputar ulama dan pahlawan dalam bingkai keindonesiaan yang
majemuk.
Telah
dapat dipahami bahwa gejala negara-bangsa (nation-state) pada awal
kemerdekaan diterima sebagai sesuatu yang harus ada oleh para ulama pendiri
bangsa. Meski masih dalam rupa pencarian yang terus-menerus dilakukan. Dan
akhirnya, ulama mendefinisikan negara baru itu, Indonesia sebagai dar
al-salam (negara damai). Selanjutnyan mengakui bahwa Indonesia muda sebagai
negara berdaulat yang harus dijunjung harkat dan martabatnya, dibela
kehormatannya dan dicintai sebagai bagian dari kecintaan pada agama. Tuntas
sudah keberagaman itu ditahbiskan dalam
jiwa kaum Muslim saat itu. Sekaligus mencakup haru-biru sebagai perang suci
membela kehormatan yang telah mendapat restu dari ajaran agama yang suci. Perang
suci itu bernama 10 Nopember. Sebuah nama yang menunjukkan tafsir baru atas
kecintaan agama dengan mencintai tanah air tercinta. Dan kecintaan pada seluruh
elemen kebangsaan sejalan dengan kecintaan pada agama. Sungguh peristiwa yang
menggemparkan sekaligus mengharukan.
Agaknya
pengalaman masa lalu mengalami perubahan mendasar tidak saja sulit untuk
memberi ta’rif baru atas perang
suci, namun lebih dari itu. Memberi perluasan makna bahwa perang suci telah
melupakan pelakunya sendiri. Keberagaman yang menjadi salah satu penopang
perang suci itu sontak terkoyak oleh atas nama perang suci yang lain. Perang
melawan bangsanya sendiri. Bila demikian, akankah hari pahlawan yang akan
datang itu tak perlu lagi diperingati?. Karena gua garba perang suci yang
berasal dari keberagaman justru mencabik-cabik keberagaman yang telah
dikokohkannya. Gambaran ini telah nyata didengungkan oleh kitab suci. Membuat
jalin tenun indah. Namun diurai bercerai-berai kembali.
Mengupas
Akar Anti Keberagaman.
Jika
demikian yang terjadi, alangkah baiknya, seluruh elemen bangsa melirik kembali
capaian emas dengan darah dan air mata itu dirajut kembali. Dahulu, tidak ada paham
transnasional berujung radikalisme. Tak ada paham sektarian berujung SARA. Tak
ada paham ekslusivisme berujung keangkuhan dan perselingkuhan. Para pendiri
bangsa berupaya mendudukkan posisi agama sejalan tujuan negara. Yang ada
nasionalisme. Ajaran yang meletakkan cara berpikir keberagaman dalam negara. Pluralitas
dinyatakan sebagai bagian mendasar berdirinya negara yang berbudaya. Bukannya seluruh
elemen keyakinan dan kepercayaan manusia. Namun, mencoba menubuhkan saling
percaya untuk hidup bersama.
Ciri
utama hidup bersama memang harus dimulai dari sikap saling percaya. Wilayah ini
dapat disebut paling rawan untuk dipahami. Karena jalinan kebenaran mudah
menyulut kesalahpahaman. Dan di ruang ini, muncul pemahaman serba salah tentang
kebenaran yang dianut pribadi maupun kelompok. Karena, hidup bersama dengan
saling percaya mengikutsertakan unsur kepercayan lain sebagai bagian dari
kebenaran. Al-hasil membuka pemahaman bahwa saling percaya sama artinya
meneguhkan kebenaran pihak lain yang berbeda. Segregasi tak dapat dielakkan karena
didukung ekslusivisme kepercayaan. Dan kehidupan bersama layaknya bara dalam
sekam. Tak terlihat api. Namun panas membara. Itulah citra kehidupan tak tulus
dalam kebersamaan.
Resonansi
Kepahlawanan
Dapat
dinyatakan bahwa kepahlawanan hari ini tidak terbatas berbentuk seremonial
peringatan 10 Nopember. Namun lebih dari itu, tantangan berat dan
menaklukkannya sebagai pahlawan dengan ta’rif dan tafsir baru. Peristiwa
4 Nopember menjadi titik tolak memaknai kepahlawanan. Siapakah yang menjadi
pahlawan baru itu ?. Dua kelompok sedang
turut meramaikan arti pahlawan. Pertama, kelompok yang menyuarakan
keprihatinan atas nilai sakral kitab suci yang digunakan dalam ruang politik.
Jelasnya, mereka menganggap bahwa dengan dalih apapun, kitab suci tak dapat
dibuat main-main dalam situasi permainan politik di tingkat praktis yang penuh
tipu daya. Meski kemudian tampak menggelikan bahwa tuduhan penistaan agama itu
tak mencapai sasaran. Alih-alih menjadi gunjingan publik yang tak beralasan.
Karena hanya dikuasai sentimen keagamaan daripada beragama secara rasional.
Kedua, kelompok yang
telah menyakini bahwa kitab suci merupakan instrumen sakral bagi penganutnya.
Namun harus diposisikan dengan penuh kehati-hatian karena kemuliaannya. Karena,
di dalamnya tersimpan beribu-ribu makna untuk dicari dan digali secara
sungguh-sungguh. Sementara, kehendak dan arah Pencipta membumi dan
menganugerahkan mutiara hikmah bagi manusia dan semesta. Dalam kelompok ini,
istilah penistaan ditempatkan dalam cara berpikir yang rasional daripada
emosional. Bila demikian halnya, siapakah pahlawan hari ini ?. Karena itu,
selamat tinggal pahlawan lama dan selamat datang pahlawan baru. Selamat hari
pahlawan...
*Penulis adalah Pengajar di STAIN Kediri dan
Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kabupaten Kediri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar